TT-02


kembali | lanjut

cover TT-02ORANG-ORANG yang membawanya pun kemudian berjalan saling berdiam diri. Dua orang yang berjalan di sebelah menyebelah Tanjung, sekali-sekali memegangi lengannya jika Tanjung dianggap berjalan terlalu lambat.

“Jangan dorong aku” desis Tanjung memberanikan diri, “nanti aku jatuh. Anak ini akan menangis”

“Diam kau” bentak orang yang berjalan di sisi kirinya.

Tanjung terdiam.

Beberapa saat kemudian mereka berjalan disepanjang lorong yang melintas dekat dengan sebuah padukuhan. Tetapi Tanjung tidak mendengar suara kotekan orang-orang yang meronda. Tidak melihat cahaya obor di gerbang padukuhan itu. Padukuhan itu nampak sepi, seakan-akan segala-galanya sedang tertidur nyenyak. Penghuninya, pepohonan, dinding-dinding halaman, pintu gerbang dan gardu-gardu parondan.

Tanjung memang tidak dapat mengharapkan apa-apa dari padukuhan itu.

Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan kecil itu sudah mulai menjauhi padepokan yang tertidur nyenyak itu. Mereka memasuki sebuah bulak yang panjang. Di sepi malam, bulak dan bagaikan lukisan yang beku.

Iring-iringan itu masih saja berjalan cepat. Tanjung mendengar seseorang diantara orang-orang yang mem-bawanya itu berkata, “Kita akan segera menyeberangi sungai”

“Ya. Kita ditunggu di seberang. Kita akan menyerahkan Tanjung dan anaknya kepadanya”

Jantung Tanjung menjadi semakin keras dan cepat berdentang di dadanya. Ia tidak tahu, kepada siapa ia akan diserahkan. Tetapi siapa pun orang yang menunggu di seberang, namun nasibnya tentu akan menjadi sangat buruk.

Beberapa saat kemudian, mereka memang sedang mendekati sebuah sungai. Di atas sungai itu tidak ada jembatan. Mereka harus menuruni tebing yang landai untuk menyeberangi sungai yang tidak terlalu besar itu. Sungai yang airnya tidak terlalu deras, sehingga mudah diseberangi jika tidak sedang banjir.

Namun demikian mereka menuruni tebing yang landai itu, mereka terkejut. Seseorang telah terguling dari tanggul sungai itu dan terkapar di tengah jalan yang basah yang menapak ke tepian.

Dengan susah payah orang itu berusaha untuk bangkit. Dua orang yang mengambil Tanjung yang berjalan di paling depan, dengan cepat mendekati orang yang baru saja berdiri terhuyung-huyung itu.

Kedua orang itu pun semakin terkejut ketika mereka melihat orang yang berdiri dengan keseimbangan yang masih goyah itu.

“Ki Bekel?”

“Ya” desis orang itu.

“Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya Ki Bekel berada di seberang menunggu kedatangan kami?”

“Ya. Tetapi orang gila itu lelah membawa aku kemari”

“Orang gila yang mana?”

“Ia telah melemparkan aku ke jalan ini. Tadi ia berada di tanggul itu”

“Siapa?”

“Aku tidak tahu”

Dalam pada itu, iring-iringan itu pun seluruhnya telah mengerumuni Ki Bekel kecuali dua orang yang menjaga Tanjung dan anaknya.

Tiba-tiba saja Ki Bekel itu pun berteriak, “Cari. Orang itu tentu masih ada disekitar tempat ini”

Ampat orang pun segera meloncat keatas tanggul. Mereka pun terhenyak sejenak ketika mereka mendengar suara orang tertawa, “Aku masih disini”

Tapi suara itu datang dari tanggul di seberang jalan. Di arah lain dari arah terlemparnya Ki Bekel.

Empat orang yang berada di atas tanggul di seberang yang lain itu termangu-mangu sejenak.

“Tangkap orang itu” teriak Ki Bekel, “Aku akan membunuhnya dengan tanganku”

Orang itu masih tertawa. Katanya, “Perintahkan semua orang-orangmu mencoba menangkap aku Ki Bekel. Aku adalah seorang pelari yang tidak tertandingi. Aku dapat berlari lebih cepat dari seekor kijang”

“Pengecut” teriak pemimpin sekelompok orang itu.

“Kenapa?”

“Kau hanya mengandalkan caramu melarikan diri”

“Sebaiknya bagaimana? Bertempur dengan salah seorang dari kalian? Seorang lawan seorang?”

“Tangkap orang itu. Jangan dengarkan kata-katanya”

Bukan saja empat orang yang berada di tanggul di seberang jalan yang kemudian berloncatan. Tetapi dua orang yang lain pun telah bergeser pula naik ke tanggul. Sementara dua orang lainnya masih tetap menjaga Tanjung dan bayinya yang masih tertidur di dekapan ibunya.

“Menyerahlah” berkata pemimpin dari sekelompok orang itu.

Orang itu tertawa semakin keras. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku adalah seorang pelari cepat? Aku berlatih berlari sejak kau masih kanak-kanak. Aku adalah pemburu bajing terbaik di padukuhanku. Tetapi jika seorang diantara kalian ingin menantangku berkelahi seorang melawan seorang, aku tidak akan lari”

“Bagus” berkata seorang yang berbadan tinggi besar berbahu tinggi seperti seekor orang hutan. Tangannya yang kokoh itu siap menerkam orang yang berdiri di atas tanggul itu dan mengoyaknya menjadi serpihan tulang belulang.

Tiba-tiba saja orang yang berdiri di atas tanggul itu pun segera meloncat turun tanpa rasa gentar sedikit pun juga. Dengan suara lantang ia pun berkata, “Aku percaya kepada kejantanan kalian. Aku akan berkelahi seorang melawan seorang”

Orang yang bertubuh kokoh seperti orang hutan itu pun melangkah maju sambil menggeram, “Kau memang bodoh sekali. Aku akan mematahkan lehermu”

“Kau lihat, Bekelmu itu tidak berdaya melawan aku”

“Aku akan melumatkanmu”

Keduanya pun kemudian bergeser semakin mendekat. Sedangkan beberapa orang yang lain pun bergeser pula. Dua orang tetap saja menjaga Tanjung yang menjadi semakin gelisah. Ia tidak dapat menduganya, apa yang akan terjadi atas dirinya dan anaknya.

Sejenak kemudian orang bertubuh kokoh itu telah menyerang dengan garangnya. Tetapi serangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. Bahkan orang yang telah menyakiti Ki Bekel itu, segera membalas menyerang.

Perkelahian itu berlangsung sangat singkat. Kaki orang yang telah menyakiti Ki Bekel itu telah terjulur lurus mengenai dada orang yang bertubuh kokoh itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terdorong beberapa langkah surut. Tubuhnya menimpa tanggul yang pinggir jalan yang menurun ke sungai.

Terdengar orang itu mengaduh. Tulang punggungnya serasa telah menjadi retak.

Meskipun demikian, ia masih mencoba melangkah maju. Tetapi langkahnya sudah tidak tegak lagi. Terhuyung-huyung ia bergerak mendekati lawannya.

Nampaknya Ki Bekel tidak mau menunggu terlalu lama. Ia pun segera berteriak, “Tangkap orang itu. Jangan biarkan ia lari”

Pemimpin sekelompok orang itu pun segera mengulangi perintah Ki Bekel, “Kita tangkap orang itu”

Orang itu meloncat surut sambil berdesis, “Ternyata kalian adalah orang-orang yang licik. Bukankah aku menantang seorang diantara kalian untuk berkelahi seorang melawan seorang?”

“Persetan dengan tantanganmu” teriak Ki Bekel, “tangkap orang itu”

Orang-orang itu pun serentak bergerak mengepung orang yang telah menyakiti Ki Bekel itu. Sedang dua orang diantara mereka, masih tetap tidak meninggalkan Tanjung yang semakin ketakutan.

Pertempuran itu akan membuat orang-orang yang terlibat menjadi semakin garang dan kasar. Mereka akan dapat memperlakukannya tanpa kendali lagi. Apalagi jika anaknya terbangun dan menangis.

Tetapi Tanjung mencoba untuk menenangkan hatinya, “Anak ini tidak akan disakiti. Bukankah mereka menghendaki anak ini?”

Sejenak kemudian, maka orang yang telah menyakiti Ki Bekel itu telah bertempur melawan lima orang yang kasar itu. Seorang lagi masih menunggu tubuhnya menjadi semakin baik. Sedangkan Ki Bekel berdiri saja dengan kemarahan yang menghentak di dadanya.

Namun ternyata kelima orang itu tidak mampu segera menguasai lawannya. Bahkan setiap kali seorang diantara mereka terlempar keluar dari arena pertempuran. Bahkan ketika orang yang bertubuh kokoh yang kesakitan itu sudah kembali ikut bertempur, mereka masih saja mengalami kesulitan.

Dua orang diantara mereka tidak lagi mampu bertempur dengan sepenuh tenaga, Seorang merasa kakinya bagaikan patah. Seorang lagi merasa nafasnya menjadi sesak.

Meskipun demikian, kedua-nya masih juga berusaha untuk membantu kawan-kawannya yang telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menghentikan perlawan-an orang yang telah menyakiti Ki Bekel itu.

Tetapi semakin lama, semakin banyak orang yang mengalami kesakitan.

Ki Bekel yang marah itu tidak mau tinggal diam. Ia pun segera terjun ke arena pertempuran untuk membantu orang-orang yang semakin terdesak itu.

“Jadi orang-orang ini saudara seperguruanmu, Ki Bekel?” bertanya orang yang bertempur seorang diri melawan sekelompok orang itu.

“Persetan” sahut Ki Bekel.

“Unsur-unsur gerak pada ilmu kalian tentu berasal dari sumber yang sama”

“Apa pedulimu” bentak Ki Bekel.

Orang itu terdiam. Namun ia pun segera berloncatan dengan garangnya. Kakinya menyambar-nyambar dengan cepatnya, sehingga beberapa orang lawannya terpelanting jatuh.

Demikian mereka berloncatan bangkit, maka terdengar seseorang berteriak, “Perempuan itu. Perempuan itu”

Ketika mereka berpaling, dilihatnya dua orang yang menjaga Tanjung telah terlempar jatuh. Sementara itu, seseorang telah menarik Tanjung.

“He, berhenti”

Orang yang menarik Tanjung itu memang berhenti. Tanpa menjawab sepatah kata pun orang itu berdiri di hadapan Tanjung.

Dua orang yang terpelanting jatuh itu segera bangkit berdiri. Mereka pun segera memburu orang yang menarik Tanjung itu.

Namun demikian mereka mendekat, maka orang yang menarik Tanjung itu pun segera menyerang mereka.

Pertempuran telah terjadi beberapa saat. Kedua orang itu pun kemudian telah terlempar lagi, jatuh berguling di tanah berpasir.

Sementara itu, orang-orang yang bertempur dengan orang yang pertama pun semakin mengalami kesulitan. Karena itu, maka tidak seorang pun diantara mereka yang meninggalkannya dan membantu kedua orang kawannya yang semula menjaga Tanjung.

Ki Bekel lah yang berteriak-teriak, “Ambil kembali perempuan itu”

Tetapi ia tidak berdaya. Orang-orangnya yang bertempur dengan orang yang pertama itu pun telah mengalami nasib buruk. Dua orang diantara mereka telah terlempar dengan kasarnya. Tubuhnya menimpa tebing di pinggir jalan, sehingga tulang-tulangnya pun serasa berpatahan. Sementara itu, dua orang yang lain, terbanting jatuh dan menjadi pingsan.

Yang tersisa, bersama Ki Bekel berdiri termangu-mangu. Bahkan mereka pun bergeser surut ketika lawannya bergerak mendekat.

“Ki Bekel” orang itu menggeram, “jadi inilah kenyataannya. Sikapmu yang angkuh dan menyalahkan keberadaan Tanjung di padukuhanmu itu merupakan bagian dari rencanamu untuk menguasai Tanjung dan anaknya. Jika sikapmu itu diterima oleh rakyatmu, maka hilangnya Tanjung tidak akan menjadi masalah bagi tetangga-tetangga barunya. Mereka menganggap bahwa hilangnya Tanjung merupakan kejadian yang terbaik bagi padukuhanmu. Perginya Tanjung akan berarti tersingkirkannya kerusuhan-kerusuhan yang dapat terjadi di |padukuhanmu”

Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Tetapi orang-orangnya telah jauh menyusut. Beberapa orang memang bergerak-gerak. Tetapi mereka merintih kesakitan. Demikian pula dua orang yang semula menjaga Tanjung. Mereka sudah tidak berdaya lagi. Sementara Tanjung telah berada di tangan orang lain.

“Ki Bekel. Ketamakan, kedengkian dan nafsu masih saja mengusai jantungmu. Tanjung adalah perempuan yang sangat cantik di matamu. Anaknya adalah seorang bayi yang mempunyai kelebihan. Itulah sebabnya, maka kau harus mengambilnya tanpa ada orang lain yang akan mengusut kepergiannya”

Ki Bekel tidak menjawab. Ia sudah tidak mempunyai kekuatan lagi. Karena itu, maka Ki Bekel tidak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali membiarkan apa yang terjadi.

“Ki Bekel” berkata orang itu, “kali ini aku akan memaafkanmu. Pergilah. Kudamu masih ada di tempatnya. Tetapi biarlah Tanjung dan anaknya bersamaku”

“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya Ki Bekel dengan suara parau.

“Aku tidak terlalu bodoh untuk menyebut siap diriku, karena dengan demikian aku akan memberi kesempatan kepadamu untuk memburu Tanjung dan anaknya. Sekarang pergilah. Aku juga akan pergi”

Orang itu pun kemudian meninggalkan Ki Bekel dan orang-orangnya yang kesakitan, bersama orang yang telah berhasil merebut Tanjung dan anaknya.

Demikian mereka meninggalkan tempat itu, maka Tanjung pun bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kalian berniat menolongku atau kalian juga mempunyai kepentingan yang sama dengan orang-orang yang telah berusaha mengambil bayiku?”

“Kau benar-benar tidak ingat kepadaku lagi, Tanjung?” bertanya laki-laki yang membawanya pergi itu.

Tanjung termangu-mangu. Sementara itu yang seorang lagi berkata, “Coba, ingat-ingat, Tanjung. Bukankah kau pernah bertemu dengan pamanmu itu?”

Tanjung terkejut. Suara itu suara seorang perempuan. Dalam keremangan malam, ia tidak segera dapat membedakan, apakah orang itu laki-laki atau perempuan. Apalagi orang itu mengenakan pakaian seorang laki-laki. Tetapi ketika ia mulai berbicara, ternyata ia seorang perempuan.

Karena Tanjung tidak segera menjawab, maka laki-laki yang telah membebaskannya dari tangan Ki Bekel itu pun mengusap wajahnya, menghilangkan goresan-goresan di wajahnya dengan lengan baju, sehingga wajahnya yang sebenarnya menjadi semakin jelas.

“Paman Mina” desis Tanjung.

“Nah, kau masih mengenal aku” sahut Ki Mina.

“Jadi, apakah yang seorang ini bibi Mina?”

“Ya. Itu adalah bibimu. Ketika aku menjumpaimu bersama Yu Sumi di bulak itu, aku minta kalian singgah barang sejenak agar kalian bertemu dengan bibimu. Tetapi Yu Sumi tidak mau”

“Waktu itu, kami baru saja datang dari jauh, paman” sahut Tanjung.

“Dari rumahmu, kan?”

“Ya, paman”

“Nah, untuk sementara biarlah kau tinggal besama kami. Kau dan anakmu. Kapan-kapan jika keadaan sudah lebih tenang, biarlah aku memberi tahukannya kepada Yu Sumi, agar Yu Sumi tidak menjadi selalu gelisah karena seorang anaknya hilang”

“Terima kasih, paman”

“Tetapi bukankah kau bukan anaknya?” bertanya Ki Mina tiba-tiba.

“Aku anaknya yang bungsu, paman”

Kedua orang suami isteri itu tertawa. Nyi Mina pun kemudian berkata, “Menurut pamanmu, anak Yu Sumi itu hanya seorang”

“Aku dan Yu Mulat berbeda ayah”

“Sudahlah Tanjung. Aku tahu, bahwa kau bukan anak Yu Sumi. Sebelumnya Yu Sumi telah bekerja padamu. Tetapi karena kau bersikap baik kepadanya, maka Yu Sumi pun tahu diri. Dalam keadaan yang sulit, kau telah diaku sebagai anaknya”

Tanjung tidak dapat menjawab lagi. Bahkan Ki Mina itu pun berkata, “Bukankah anak itu juga bukan anakmu sendiri?”

“Anakku, paman. Tatag adalah anakku sendiri”

“Tanjung. Kita akan menjadi keluarga. Kita harus saling mengetahui keadaan kita yang sebenarnya” berkata Nyi Mina.

Tanjung terdiam. Namun ternyata hatinya berdesir tajam. Anak itu memang bukan anaknya.

“Dari mana paman dan bibi tahu, bahwa anak ini bukan anakku sendiri?”

“Kau tidak menyusui anak itu, Tanjung. Selebihnya badanmu tidak menunjukkan bahwa kau baru saja melahirkan.

Tanjung terdiam. Sementara itu Nyi Mina pun berkata, “Kami hanya mencoba menebak, Tanjung. Tetapi bukankah anak itu memang bukan anakmu sendiri?”

“Ya, Bibi. Anak ini memang bukan anakku sendiri”

“Sudahlah. Biarlah aku dan pamanmu melupakan bahwa anak itu bukan anakmu sendiri. Biarlah aku dan pamanmu juga menganggap bahwa anak itu adalah anak kandungmu”

Tanjung tidak menjawab.

Demikianlah mereka bertiga berjalan di dalam gelapnya malam. Mereka pun kemudian berbelok memasuki jalan sempit menuju ke sebuah pategalan di pinggir padang perdu, tidak terlalu jauh dari hutan, di dekat sebuah tikungan sungai.

“Itulah tempat tinggalku, Tanjung” berkata Mina kemudian, “di sebuah pategalan. Aku memang hidup dalam keterasingan karena aku tidak mempunyai tanah selain peninggalan ayah itu”

Tanjung menarik nafas panjang.

“Orang menyebut pategalan ini Tegal Anyar. Jadi aku tinggal di Tegal Anyar”

Tanjung terdiam. Tetapi kakinya masih saja bergerak melangkah di jalan sempit menuju ke sebuah pategalan.

Ketika Tatag bergerak-gerak di dukungannya, maka Tanjung pun mengayunkan agar anak itu tertidur lagi.

“Kita akan segera sampai Tanjung. Kau akan segera dapat menyiapkan minum bagi bayimu. Kau beri minum apa bayimu itu Tanjung?”

“Tajin dengan gula kelapa, bibi. Atau bubur yang cair, juga dengan gula kelapa”

“Bagus. Mudah-mudahan makanan itu cocok baginya”

“Sampai sekarang agaknya makanan itu cocok baginya, bibi”

“Ya. Demikian kita sampai di rumah, kita dapat membuatnya bagi bayimu”

Beberapa saat kemudian, mereka pun segera berbelok. Mereka naik ke pematang untuk mengambil jalan pintas.

“Hati-hati Tanjung” desis Nyi Mina yang kemudian berjalan di belakang Tanjung. Di paling depan, Ki Mina berjalan agak terlalu cepat bagi Tanjung.

Tetapi Tanjung juga sering berjalan di pematang. Karena itu, maka Tanjung juga tidak terlalu merasa canggung.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah sampai ke sebuah petegalan yang dikelilingi dengan pagar bambu. Di dalam pategalan itu terdapat sebuah rumah yang sederhana meskipun tidak terlalu kecil. Di depan rumah itu terdapat halaman yang tidak terlalu luas. Sementara itu disekitar rumah dan halaman itu terdapat berbagai macam pepohonan yang masih terhitung muda. Beberapa puluh batang pohon kelapa. Sebagian memang sudah berbuah, tetapi sebagian baru mulai tumbuh. Pohon buah-buahan dan beberapa jenis pohon yang lain yang tidak begitu jelas bagi Tanjung yang baru melihat tempat itu pertama kali. Itu pun di malam hari.

“Marilah Tanjung”berkata Nyi Mina, “inilah rumah pamanmu. Terlalu sederhana. Tetapi cukup memadai bagi kami berdua”

Ki Mina pun kemudian membuka pintu butulan rumahnya. Nyi Mina dan Tanjung pun mengikutinya pula.

Sebuah lampu minyak kelapa terdapat di sudut ruangan, di atas sebuah ajug-ajug menerangi sebuah ruangan di tengah. Disisi ruangan itu terdapat tiga buah sentong berjajar. Sentong kiri, sentong tengah dan sentong kanan yang disekat dengan gebyok kayu. Sederhana saja. Tidak ada ukiran. Tidak ada sungging. Namun rumah itu dalam keseluruhan tulang-tulangnya terbuat dari kayu serta berdinding anyaman bambu.

Demikian mereka berada di ruang dalam rumah itu, terasa udara menjadi hangat. Tidak lagi terasa angin yang dingin mengusap kulit wajah.

Tanjung pun kemudian duduk di sebuah amben yang agak besar yang berada di ruang tengah rumah Ki Mina itu, sementara Nyi Mina pun segera berganti pakaian. Dilepasnya pakaian khususnya sehingga ia menyerupai seorang laki-laki. Kemudian dikenakannya pakaian seorang perempuan sebagaimana dikenakan oleh Tanjung.

“Duduklah Tanjung” berkata Nyi Mina, “Aku akan pergi ke dapur. Aku akan mencuci beras dan menanaknya. Bukankah anakmu memerlukan minum jika ia terbangun?”

“Sudahlah bibi. Biar aku saja yang melakukannya”

“Kau gendong anakmu. Jika kau letakkan sebelum tersedia minumnya, maka anakmu menangis”

“Tetapi jangan merepotkan bibi”

“Tidak apa-apa. Bukankah aku setiap hari juga berada di dapur”

“Tetapi tidak malam-malam seperti ini, bibi”

Nyi Mina tersenyum. Ditepuknya bahu Tanjung sambil berkata, “Tidak apa-apa. Aku senang melakukannya”

Nyi Mina pun kemudian pergi ke dapur. Sementara Ki Mina pun berkata kepada Tanjung, “Duduklah. Aku akan melihat-lihat pategalanku sebentar. Aku tadi memasang jaring untuk menangkap codot yang banyak berterbangan disini. Buah sawoku selalu di curinya, sehingga aku hampir-hampir tidak kebagian”

“Ya, paman”

“Codot yang tertangkap jaring dapat menjadi lauk besok”

Ki Mina pun kemudian pergi ke dapur untuk memberitahukan kepergiannya kepada isterinya.

Tetapi kepada Nyi Mina suaminya berkata, “Aku akan melihat-lihat, apakah ada orang yang mengikuti perjalanan kita”

“Hati-hati, kakang” Ki Mina pun mengangguk.

Sejenak kemudian, maka Ki Mina pun telah mening-galkan rumahnya, sementara Nyi Mina masih sibuk di dapur.

Sejak hari itu. Tanjung berada di rumah Ki Mina yang terpencil. Seperti Nyi Sumi dan Mulat, Nyi Mina sangat memperhatikan Tatag. Kepada Tanjung Nyi Mina pun berkata, “Tanjung. Aku tidak mempunyai anak sama sekali. Jika kau tidak berkeberatan, biarlah aku ikut mengaku Tatag sebagai cucuku sebagaimana Nyi Sumi”

“Tentu bibi. Aku tentu tidak berkeberatan sama sekali”

“Hari ini pamanmu berniat untuk pergi menemui Nyi Sumi, memberitahukan bahwa kau berada di sini, agar Nyi Sumi dan Mulat tidak menjadi sangat gelisah”

“Terima kasih, bibi”

“Tetapi agar keberadaanmu disini untuk sementara tetap dirahasiakan, pamanmu akan minta agar Nyi Sumi dan Mulat tidak datang kemari untuk sementara. Mungkin pada kesempatan lain mereka akan dapat menemuimu serta menengok Tatag”

Sebenarnyalah hari itu, Ki Mina pergi seorang diri ke rumah Nyi Sumi. Kedatangannya memang agak mengejutkan. Dengan ramah Ki Mina pun kemudian dipersilahkannya masuk ke ruang dalam.

“Kau sendiri saja Mina”

“Ya, yu”

“Kau berjanji untuk membawa isterimu kemari”

“Isteriku sedang sibuk di rumah, yu”

“Sibuk apa? Bukankah rumahmu hanya berisi dua orang saja seperti katamu? Kau dan isterimu”

“Ya, Yu. Tetapi isteriku juga harus ikut memelihara tanaman di pategalan. Aku menanam berbagai macam tanaman di pategalan, yu. Aku menanam kacang panjang, kacang brol dan kedelai”

“Bukankah kau juga mempunyai beberapa petak sawah selain pategalan di Tegal Anyar itu?”

“Hanya beberapa kota di sebelah pategalan. Letaknya memang lebih rendah dari pategalanku itu, yu. Sehingga air dapat membasahi sawahku di segala musim, karena paritnya tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau yang panjang Sekalipun”

Sejenak kemudian, ketika Mulat membawa hidangan bagi Ki Mina, maka Ki Mina itu pun bertanya dengan ramahnya.

“Kau tentu mulat. Apakah kau masih ingat kepadaku?”

“Tentu paman” jawab Mulat, “meskipun waktu itu aku masih kecil, aku tidak lupa kepada paman Mina”

“Aku sekarang juga sudah pulang seperti ibumu Mulat. Bukankah ibumu sekarang juga sudah pulang”

“Ya, paman. Ibu sekarang sudah pulang”

“Kau tidak sendiri lagi”

“Ya, paman. Sebenarnya ibu tidak pulang sendiri. Ibu pulang bersama adikku, Tanjung. Tetapi adikku itu hilang di culik orang”

“Di culik?”

“Ya, Mina” sahut Nyi Sumi, “tangis anaknya sangat menarik perhatian. Setiap orang mengatakan bahwa tangis anak itu berbeda dengan tangis kebanyakan banyi. Bukankah kau pernah juga mendengarnya? Bukankah kau yang mengatakan bahwa tangisnya seperti suara genderang dan sangkakala yang mengiringi prajurit maju ke medan perang?

“Tidak lagi, yu. Tidak ada hubungannya dengan perang. Tetapi bagaimana dengan anak bungsumu itu?”

“Sekelompok orang datang kemari. Sudah dua rambahan Mina. Yang pertama gagal. Tetapi mereka telah datang lagi. Mereka bahkan telah membawa Tanjung pula. Mungkin mereka memerlukan ibunya untuk dapat mengasuh anak itu”

Mina mengangguk-angguk.

“Tidak seorang pun yang bersedia menolongku, Mina. Tetangga-tetanggaku adalah orang-orang yang baik. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi ketika mereka sadari bahwa Ki Bekel merasa terganggu atas keberadaan Tanjung disini. Lingkungan yang disebutnya aman dan damai ini tiba-tiba menjadi rawan akan kekerasan, justru ketika Tanjung dan Tatag berada di sini”

“Kasihan anak itu” desis Mulat. Tiba-tiba saja matanya menjadi basah, “Kami tidak tahu, anak itu berada di tangan siapa? Apa pula maksudnya mengambil Tatag yang suara tangisnya telah menarik perhatian mereka. Apakah yang akan terjadi pada Tatag di masa depannya”

Ki Mina termangu-mangu sejenak. Setelah mengambil ancang-ancang, maka ia pun berkata dengan nada ragu, “Yu Sumi dan kau Mulat. Jangan cemaskan Tatag dan ibunya”

Wajah kedua orang perempuan itu menegang.

“Apa katamu?” bertanya Nyi Sumi.

“Maaf yu. Aku telah mengambil langkah-langkah atas kehendakku sendiri sebelum aku berbicara dengan Yu Sumi dan Mulat. Tetapi itu aku lakukan karena terpaksa. Karena aku tidak mempunyai waktu lagi untuk membicarakannya dengan Yu Sumi atau Mulat. Karena itu, maka aku dan isteriku telah mengambil sikap”

“Aku tidak mengerti” berkata Nyi Sumi.

“Yu. Tanjung memang di culik orang. Tetapi beruntunglah kami. Maksudku aku dan isteriku, bahwa kami dapat menjumpai sekelompok orang yang membawa Tanjung itu. Kami berhasil merebutnya dan membawa Tanjung pulang ke rumahku”

“Jadi?”

“Sekarang Tanjung dan Tatag ada di rumahku, yu”

“Gusti Yang Maha Penyayang. Jadi sekarang Tanjung dan Tatag ada di rumahmu?”

“Ya, yu”

“Mulat, bersiap-siaplah. Kita akan menjemput Tanjung dan Tatag.

“Nanti dulu, yu” sahut Ki Mina, “sebaiknya Yu Sumi dan Mulat jangan pergi ke rumahku lebih dahulu untuk sementara. Nanti, jika keadaan sudah mengijinkan, aku akan mempersilahkan Yu Sumi dan Mulat datang ke rumahku. Tetapi aku mohon, biarlah keduanya berada di rumahku saja. Bukan apa-apa. Tetapi agaknya disini mereka selalu terancam oleh sekelompok orang yang tertarik kepada cucumu itu”

“Jadi. kau menolak untuk mengembalikan Tanjung kepadaku?

“Bukan begitu, yu. Jika aku minta Yu Sumi tidak tergesa-gesa menjemput Tanjung itu semata-mata bagi keselamatan Tanjung dan Tatag. Biarlah mereka untuk sementara bersembunyi disana”

“Jadi apa bedanya kau dengan orang-orang yang lain, yang telah berusaha mengambil Tatag dan ibunya?”

“Ibu” suara Mulat bernada rendah, “jangan salah paham ibu. Aku mengerti maksud paman Mina. Paman Mina telah menyembunyikan Tanjung dan Tatag di rumahnya. Jika kita mengambil mereka dan membawa pulang, maka akan terjadi lagi usaha-usaha penculikan. Sementara itu kita tidak dapat melindunginya”

Nyi Sumi pun tercenung sejenak.

“Mulat benar, Yu Sumi. Jika aku ingin menguasai Tatag dan ibunya seperti orang lain, aku tentu tidak akan datang kemari untuk memberitahukan keberadaan Tatag di rumahku”

Nyi Sumi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Mina. Maafkan aku. Aku benar-benar dalam ketakutan. Takut kehilangan Tatag dan ibunya. Aku juga merasa bersalah jika Tanjung dan Tatag berada dalam keadaan yang sulit, karena akulah yang telah membawanya kemari”

“Yu Sumi dan Mulat tidak usah merasa cemas. Aku akan menjaga mereka sejauh kemampuanku dan isteriku. Mudah-mudahan Yang Maha Penyayang selalu melindungi kami”

Nyi Sumi itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Aku titipkan anak dan cucuku itu kepadamu, Mina”

“Aku telah memberanikan diri mengambil tanggung jawab ini Yu. Sebenarnyalah bahwa kami juga merasa tidak mempunyai anak dan cucu. Mudah-mudahan Yu Sumi tidak berkeberatan jika aku juga ikut mengaku Tatag sebagai cucuku”

“Tentu tidak, Mina“ jawab Nyi Sumi, “sepanjang sikapmu itu menguntungkan masa depan Tatag, aku tidak akan merasa berkeberatan”

Beberapa saat kemudian, setelah minum minuman hangat yang dihidangkan Mulat, maka Ki Mina pun segera minta diri.

“Aku tidak dapat meninggalkan Tanjung dan Tatag terlalu lama Yu. Jika saja ada. orang yang mengetahui bahwa mereka ada di rumahku, maka kemungkinan buruk itu dapat saja terjadi”

“Baik Mina. Aku minta maaf atas prasangka burukku. Aku justru berterima kasih kepadamu. Jaga mereka baik-baik. Kau tentu memiliki kemampuan menjaganya jauh lebih baik daripada kami”

“Semoga aku dapat memikul beban ini. Tetapi tolong yu, jangan katakan kepada siapa pun juga, bahwa Tanjung dan Tatag berada di rumahku. Juga jangan kepada Ki Bekel dan para bebahu”

“Kenapa dengan Ki Bekel?” bertanya Mulat.

“Tidak apa-apa Mulat. Tetapi seperti juga orang lain, Ki Bekel tentu tidak dapat berdiam diri. Ia tentu akan rerasan dengan siapa pun juga, mungkin dengan Ki Jagabaya atau bebahu yang lain atau dengan keluarganya, bahwa perempuan dan anak bayinya yang pernah tinggal di rumah ini sekarang berada di Tegal Anyar”

Mulat itu pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku mengerti, paman. Kami tentu akan menjaga agar ketenangan hidup Tatag dan ibunya selalu terjaga”

“Terima kasih. Mulat. Terima kasih yu. Aku akan segera pulang”

Demikianlah, maka Mina pun meninggalkan rumah Nyi Sumi dengan pesan mewanti-wanti. Agaknya Nyi Sumi dan Mulat pun mengerti, bahaya yang akan dapat menerkam Tanjung jika persembunyiannya itu di ketahui orang.

Itulah sebabnya, maka Nyi Sumi dan Mulat pun berusaha menyimpan rahasia keberadaan Tanjung dan Tatag itu sebaik-baiknya.

Dalam pada itu. Tanjung yang berada di rumah Ki Mina, mengasuh anaknya itu dengan penuh kesungguhan. Penuh kasih sayang. Bagi Tanjung, tidak ada yang lebih berharga baginya kecuali anak laki-lakinya itu.

Ki Mina dan Nyi Mina pun sangat mengasihi Tatag. Mereka ikut berbuat apa saja untuk menjaga agar Tanjung dapat memenuhi kebutuhan Tatag dalam banyak hal.

Namun bagi Ki Mina dan Nyi Mina, tangis Tatag tetap saja sangat menarik perhatian. Meskipun Ki Mina tidak pernah lagi menyebut bahwa tangis anak itu terdengar bagaikan genderang dan sangkakala yang mengiringi prajurit ke medan pertempuran, namun tangis itu sebenarnyalah selalu menggetarkan jantung mereka.

“Ada kekuatan yang memancar dalam suara tangis itu” berkata Ki Mina kepada isterinya.

“Ya, kakang. Ada semacam kekuatan yang tersembunyi. Yang tidak mudah kita kenali watak dan sifatnya”

“Tatag masih bayi, Nyi. Kita dan ibunya yang mengasuhnyalah yang akan mengarahkan jalan hidupnya. Jika benar ada kekuatan yang tersembunyi, maka jika kekuatan itu pada saatnya mencuat kepermukaan, harus memberikan arti bagi banyak orang. Karena itu, maka yang harus kita lakukan, kecuali mendorong dan membantu perkembangan kekuatan yang tersembunyi itu, kita dan Tanjung harus menanamkan pengertian baik dan buruk kepada anak itu. Memperkenalkannya segera pada saat-saat kesadaran akan dirinya mulai tumbuh kepada Penciptanya. Meletakkan dasar-dasar arah kehidupan yang baik”

“Bagaimana dengan sifat dan watak asal dari anak itu, kakang. Apakah pada saatnya watak dan sifat asalnya tidak akan muncul kepermukaan?”

“Nyi. Aku mempunyai keyakinan, bahwa nafas kehidupan anak itu dari hari ke hari akan mempunyai pengaruh yang lebih besar pada dirinya. Apa yang dilihat, didengar dan dikenalinya dari hari ke hari akan lebih menentukan sifat dan wataknya. Bahkan jalan hidupnya serta pilihan-pilihan atas sikapnya menghadapi keadaan di sekitarnya”

“Tetapi apakah anak singa yang di susui oleh seekor kambing kelak akan dapat menjadi binatang pemakan rumpun, jinak dan tidak terpengaruh oleh bau darah?”

“Seekor singa hidupnya dikendalikan oleh naluri, Nyi. Tetapi manusia mempunyai kelengkapan yang lebih sempurna bagi bekal hidupnya. Ia mempunyai nalar budi yang dapat memberikan keseimbangan untuk menentukan pilihan”

Nyi Mina mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, jika kita yakin, bahwa anak ini akan memberikan arti bagi banyak orang yang memperlukan perlindungan, maka sejak bayi kita dapat membantu perkembangan kewadagannya yang kelak akan menjadi tumpuan ilmu yang akan dipelajarinya, kakang”

“Aku setuju, Nyi. Tetapi untuk meyakinkan sikap kita, aku akan pergi menemui guru”

“Aku sependapat, kakang. Bukankah guru tinggal di padepokan yang tidak terlalu jauh. Jika kakang pergi sendiri, kakang akan dapat sampai ke padepokannya sekitar sehari semalam termasuk saat-saat untuk beristirahat”

“Baiklah Nyi. Rasa-rasanya memang perlu untuk dibicarakan dengan guru, karena langkah yang akan kita ambil akan mempunyai akibat yang sangat luas di masa depan. Khususnya bagi anak ini serta lingkungannya. Jika kita mulai menempa unsur kewadagannya sejak dini, maka ia akan menjadi orang yang memiliki kelebihan”

“Ya, kakang. Sementara itu ciri yang ada di dadanya itu harus dipertimbangkan pula. Pada suatu saat toh yang ada di dadanya itu akan dapat mengundang seseorang untuk mengenalinya. Mungkin orang tua kandung anak itu”

“Aku juga telah memikirkannya. Nyi. Tetapi bukankah toh di dadanya itu akan tertutup oleh bajunya? Atau bahkan noda hitam itu akan dapat diusahakan, dihilangkan dengan reramuan obat-obatan. Jika tidak, maka banyak orang yang mempunyai toh di tubuhnya, sehingga noda hitam itu bukan satu ciri yang mutlak dapat menentukan kebenaran tentang seseorang”

Nyi Mina pun mengangguk-angguk pula.

“Nyi. Jika kau sependapat, aku akan berangkat esok pagi-pagi sekali. Jika aku berjalan lebih cepat, maka tengah malam aku sudah akan sampai ke padepokan guru. Pagi-pagi aku meninggalkan padepokan itu, maka di tengah malam berikutnya aku sudah sampai disini lagi”

“Jangan terlalu memaksa diri, kakang. Kau akan menjadi sangat letih”

“Bukankah aku akan cukup beristirahat di padepokan?”

“Apakah kau tidak akan tidur selama dua hari dua malam?”

“Apakah dua hari dua malam tidak tidur itu terlalu lama bagi kita?”

Nyi Mina tersenyum. Katanya, “Aku mengerti kakang. Tetapi sebaiknya kakang menyempatkan diri untuk beristirahat”

“Aku tidak akan terlalu tergesa-gesa pulang jika disini tidak ada Tatag dan Tanjung. Jika ada orang yang mengetahui mereka disini. maka persoalannya akan menjadi sulit bagimu jika aku tidak ada di rumah. Selain Ki Bekel dan saudara-saudara seperguruannya, bukankah Macan Kebranang juga pernah mendengar tangis anak itu”

Nyi Mina mengangguk.

“Meskipun kita sembunyikan Tanjung dan Tatag disini, tetapi tangis Tatag itu tentu juga terdengar dari luar rumah kita”

“Untunglah bahwa kita tinggal di tempat yang terpencil, kakang. Agaknya tidak ada orang yang menghiraukan kita. Tangis itu pun tidak akan didengar orang”

Ki Mina mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Biarlah malam nanti kita berbicara dengan Tanjung. Aku akan memberitahukan kepadanya, bahwa aku akan pergi sekitar dua hari dua malam”

Sebenarnyalah ketika malam turun, maka sambil makan malam, Ki Mina memberitahukan kepada Tanjung, bahwa ia akan pergi dua hari dua malam untuk satu keperluan.

Nampak kerut di dahi Tanjung. Namun Ki Mina pun segera berkata, “Jangan cemas, Tanjung. Aku percaya bahwa bibimu akan dapat melindungimu. Apalagi keberadaanmu disini belum diketahui oleh orang lain, sehingga agaknya kau aman disini. Bahkan Yu Sumi dan Mulat pun aku minta untuk tidak tergesa-gesa datang kemari. Aku minta agar mereka tidak mengatakan kepada siapapun bahwa kau berada disini”. Tanjung mengangguk-angguk. Sementara bibinya pun berkata, “Jangan cemas, Tanjung. Kita adalah orang yang terasing disini”

Malam itu. Ki Mina sudah masuk ke dalam biliknya sebelum tengah malam. Ia akan tidur lebih cepat dari biasanya. Esok ia harus bangun di dini hari. Kemudian pagi-pagi sekali berangkat meninggalkan rumahnya untuk satu keperluan.

Ketika Tanjung terbangun di dini hari karena Tatag menangis, maka ia melihat Nyi Mina sudah berada di dapur mempersiapkan minuman hangat bagi suaminya yang akan bepergian. Sementara itu Ki Mina pun telah mandi dan berbenah diri.

“Maaf bibi. Aku terlambat bangun, sehingga aku tidak dapat membantu bibi”

“Tidak apa-apa Tanjung. Bukankah kau harus sering bangun kalau anakmu menangis? Pagi ini aku juga tidak mempersiapkan apa-apa kecuali minuman hangat dan sedikit ketela rebus”

Tanjung mengangguk kecil. Sementara Ki Mina telah duduk di amben di ruang tengah. Nyi Mina telah menghidangkan minuman hangat serta ketela rebus yang masih mengepul.

Tanjung yang menggendong Tatag yang sudah tertidur lagi, berjalan hilir mudik di ruang tengah.

Setelah minum beberapa teguk serta makan beberapa potong ketela rebus, maka Ki Mina pun segera bersiap untuk berangkat.

“Hati-hati dengan anakmu, Tanjung” pesan Ki Mina.

“Ya, paman”

“Jangan pergi kemana-mana. Segala keperluan telah tersedia di pategalan ini. Sayur-sayuran. Beras pun masih ada di lumbung. Kebutuhan dapur, bibimu selalu membelinya di pasar untuk beberapa hari sekaligus”

“Ya. paman”

“Bibimu pun tidak akan pergi kemana-mana juga”

“Ya. paman”

Demikianlah, sebelum matahari terbit, Ki Mina telah meninggalkan rumahnya untuk satu perjalanan yang panjang. Meskipun jarak dan waktu yang diperlukan sebenarnya terhitung pendek bagi Ki Mina. Tetapi justru karena keberadaan Tanjung dan Tatag dirumahnya, maka terasa perhitungan waktu menjadi panjang.

Kepergian Ki Mina memang membuat Tanjung agak gelisah. Tetapi ia tahu, bahwa bibinya bukannya seorang perempuan kebanyakan. Bibinya juga seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga Tanjung pun berharap bahwa bibinya akan dapat melindunginya.

Seperti yang dipesankan oleh Ki Mina, maka Tanjung dan bibinya memang tidak pergi ke mana-mana. Di pategalan itu sudah tersedia sayuran yang cukup. Di sekitar pategalan itu. Ki Mina menanam kacang panjang yang merambat pada lanjaran bambu. Di pategalan itu juga terdapat banyak pohon melinjo. Ada beberapa batang pohon turi yang sedang berbunga. Bunganya adalah termasuk sejenis sayuran yang banyak digemari.

Selain itu banyak pula terdapat tanaman lombok rawit dan lombok abang di pagar-pagar yang menyekat kotak-kotak pategalan. Sedangkan di kandang terdapat beberapa butir telur jika diperlukan. Bahkan ayam pun berkeliaran tidak terhitung di halaman dan di kebun.

Tanpa Ki Mina di rumah, maka Nyi Mina harus menjadi sangat berhati-hati. Ia akan sendirian jika ada kesulitan yang datang.

Tetapi dihari pertama tidak terjadi apa-apa di rumah Ki Mina di Tegal Anyar. Ketika malam turun, maka Nyi Mina pun lelah menutup dan menyelarak segala pintu. Ia tidak melakukan secepat itu, seandainya ia sendiri saja di rumah. Tidak ada Tanjung dan tidak ada Tatag.

Jika Nyi Mina itu sendiri, maka ia tinggal mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. Tetapi dengan keberadaan Tanjung dan Tatag di rumahnya, maka Nyi Mina harus menjaga dan melindungi dan bahkan mempertanggung-jawabkan keduanya.

Tanpa Ki Mina rumah itu memang terasa sepi. Biasanya Ki Mina dan Nyi Mina duduk berbincang di serambi samping. Ketika Tanjung ada di antara mereka, maka setelah makan malam, biasanya mereka duduk-duduk di ruang dalam, berbicara tentang banyak hal. Ki Mina dan Nyi Mina banyak memberikan petunjuk-petunjuk kepada Tanjung. Mereka banyak berceritera tentang kenyataan kehidupan yang kadang-kadang terasa pahit. Namun jika dijalani dengan tabah dan pasrah, maka segalanya akan berlalu.

“Tidurlah Tanjung” berkata Nyi Mina pada wayah sepi bocah, “Kau harus ikut bangun jika anakmu bangun”

“Aku akan mencuci mangkuk sebentar di dapur, bibi”

“Tidak usah sekaang Tanjung. Biar besok pagi-pagi saja”

Tanjung tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian segera pergi ke biliknya.

Beberapa saat kemudian. Tanjung pun telah tertidur disamping anaknya yang tumbuh dengan subur. Tatag nampak sehat dan kuat. Meskipun Tatag tidak nampak gemuk, tetapi tulang-tulangnya kuat dan besar. Namun tangisnya masih saja menarik perhatian.

Seperti biasanya di tengah malam, Tatag terbangun Popoknya menjadi basah. Tatag menangis beberapa saat. Namun kemudian ia pun segera terdiam dan tertidur lagi.

Tetapi selagi Tanjung masih belum tertidur, terdengar pintu rumah itu diketuk orang. Tidak terlalu keras. Tetapi ketukan itu telah membangunkan Nyi Mina yang berada di sentongnya seorang diri.

Nyi Mina memang menjadi berdebar-debar. Ia tidak pernah merasa demikian gelisah seperti saat itu.

“Siapa di luar?” bertanya Nyi Mina sambil menyambar sebatang tombak pendek di plonconnya.

“Aku bi”

“Aku siapa?” Nyi Mina melangkah mendekati pintu. Tombaknya semakin merunduk.

“Aku bi. Wikan”

“Wikan? Kau benar Wikan”

“Ya, bi. Aku Wikan”

Nyi Mina memang merasa ragu. Namun akhirnya ia mengangkat selarak pintu rumahnya.

Ketika pintu itu terbuka, seorang laki-laki yang masih terhitung muda berdiri di depan pintu.

“Wikan. Jadi kau benar-benar Wikan?”

“Ya, bi”

Laki-laki yang masih terhitung muda itu pun kemudian masuk ke ruang dalam, Sejenak ia berdiri memandangi dinding yang mengelilingi ruang itu.

“Duduklah. Ada apa kau malam-malam begini datang kemari? Apakah ada kabar penting yang harus kau sampaikan kepada kami?”

“Tidak, bi”

“Lalu?”

“Aku lari dari rumah”

“Lari? Kau lari? Bagaimana mungkin kau lari. Kau anggauta keluarga yang berkecukupan. Tetapi menurut gurumu, kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang mumpuni. Kau dapat mengalahkan sepuluh orang berilmu tinggi sekaligus. Jika kau lari, bukankah itu kabar yang paling buruk yang pernah aku dengar?”

Wikan menarik nafas panjang. Nyi Mina pun kemudian duduk pula di hadapan kemanakannya yang bernama Wikan itu.

“Kali ini aku tidak dapat mempergunakan ilmuku untuk melawan persoalan yang sedang aku hadapi”

“Persoalan apa? Kau adalah seorang laki-laki muda yang termasuk beruntung didalam hidupmu. Kau adalah anggauta keluarga yang berkecukupan. Sementara itu kau sempat menuntut ilmu di sebuah padepokan pilihan, dibawah asuhan seorang guru yang sangat-sangat baik dan berilmu sangat tinggi. Kepadamu dituangkan segala ilmunya, bukan karena kau anggauta keluarga yang berkecukupan. Tetapi menurut gurumu, kau adalah anak yang baik. Ilmu yang tersimpan didalam dirimu akan sangat berarti bukan saja bagimu sendiri, tetapi juga bagi orang banyak”

Wikan itu menundukkan kepalanya.

“Kau letih?” bertanya Nyi Mina kemudian.

“Tidak bi”

“Kau mau berceritera?”

“Di mana paman Mina. bi”

“Pamanmu sedang menghadap guru”

“Menghadap guru”

“Ya. Tetapi tidak ada hubungan apa-apa dengan persoalan yang mungkin kau hadapi, karena kami sudah agak lama tidak mendengar kabar beritamu”

Wikan menarik nafas panjang.

“Mungkin guru, yang juga gurumu itu, akan bertanya kepada pamanmu, bagaimana kabarmu sekarang setelah kau meninggalkan padepokan karena sudah tidak ada lagi yang akan diajarkan kepadamu oleh guru. Menurut guru yang sudah menjadi semakin tua, kau adalah murid yang bungsu. Karena itu, kau telah mendapatkan apa saja yang dimiliki oleh guru”

Wikan memandang wajah bibinya sekilas. Lalu katanya, “Tiga” hari yang lalu, aku juga menghadap guru”

“Tiga hari yang lalu?”

“Ya”

“Kau tidak membawa masalahmu itu kepada guru?”

“Aku belum mendapatkan masalah ini”

“Ketika masalah itu datang kepadamu, kenapa kau tidak membawanya kepada guru?”

“Aku malu, bi. Malu sekali”

“Kenapa? Apakah kau berniat merahasiakan sesuatu kepada guru?”

“Tidak. Aku tidak berniat demikian. Tetapi aku malu sekali kepada guru. Ternyata bahwa keluargaku adalah keluarga terburuk dari semua keluarga yang pernah aku kenal”

Wajah Wikan menjadi tegang sekali. Bahkan laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan hilir mudik. Tangannya mengepal dan sekali-sekali jari-jarinya seakan-akan meremas sesuatu”

“Duduklah Wikan. Duduklah. Jika ada masalah, kita cari jalan keluarnya. Aku akan membantumu”

“Bibi” suara Wikan bagaikan tertelan. Di jatuhkannya dirinya di amben yang ada di ruang dalam itu. Terdengar suaranya parau, “Bibi salah jika bibi menganggap bahwa aku adalah seorang yang terhitung beruntung. Tetapi aku adalah seorang yang hidup diantara sampah yang tidak berharga sama sekali”

“Bagaimana mungkin, Wikan. Aku mengenal keluargamu dengan baik. Almarhum ayahmu adalah kakak kandung pamanmu Mina. Kami sangat akrab dengan keluargamu waktu itu. Namun setelah kami pulang ke Tegal Anyar, kami memang agak terpisah”

“Bibi. Aku akan tinggal bersama bibi dan paman disini. Aku tidak mau pulang”

“Ada apa sebenarnya, Wikan. Kau belum mengatakannya. Tetapi jika kau letih, beristirahatlah dahulu. Mungkin kau akan mandi, berbenah diri dan tidur. Atau kau ingin menunggu pamanmu untuk menyampaikan persoalanmu itu langsung kepadanya”

“Bagiku sama saja, bibi. Apakah aku akan berceritera kepada paman atau kepada bibi. Yang penting aku dapat mengurangi beban yang harus aku pikul sekarang ini”

“Baiklah. Duduklah. Biarlah aku membuatkan kau minum. Kau tentu haus”

“Tidak usah, bibi. Bibi tidak perlu menjadi sibuk karena kedatanganku”

“Tidak apa-apa, Wikan. Bibi sekarang juga tidak sendiri jika pamanmu pergi”

“Bibi tidak sendiri. Maksud bibi ada orang lain yang tinggal di rumah ini?”

“Kemanakan bibi”

“Kemanakan bibi?”

“Ya. Seorang perempuan. Suaminya meninggal belum lama. la berada di sini bersama anak bayinya”

“Jadi ada seorang perempuan yang tinggal disini?”

“Ya”

“Kalau begitu?”

“Tidak apa-apa. Bukankah rumahku cukup luas? Kau juga dapat tinggal disini”

“Tetapi”

“Sudahlah. Tidak ada masalah. Memang kita harus mengatur diri kita masing-masing. Tetapi bukankah kita semuanya orang baik-baik, sehingga tidak akan ada masalah?”

Wikan mengangguk.

“Besok kau akan berkenalan dengan kemanakan bibi itu”

“Ya, bibi. Jika saja aku tidak mengganggu disini”

“Tidak. Kau tidak akan mengganggu. Kemanakan bibi itu ada di sentong sebelah”

“Kalau begitu, aku tentu telah mengejutkannya”

”Tidak. Bukankah bayinya saja tidak terkejut? Jika bayi itu terkejut, ia akan menangis”

“Baik, baik,.bibi. Jika begitu, aku harus membatasi pembicaraan ini”

“Wikan. Aku tahu, bahwa kau membawa beban di hatimu sehingga kau memerlukan datang kemari segera. Bahkan kau sampai disini di malam hari. Sekarang pergilah ke pakiwan. Aku akan membuat minuman bagimu. Nanti, sambil minum kau dapat berceritera jika kau memang ingin segera membagi bebanmu tanpa menunggu pamanmu”

“Baik, bibi. Aku akan pergi ke pakiwan”

Wikan yang seluruh tubuhnya basah oleh keringat itu pun segera pergi ke pakiwan. Meskipun malam terasa sejuk, tetapi gejolak di hati Wikan, serta perjalanannya yang terasa tergesa-gesa, rasa-rasanya telah memeras keringatnya.

Ketika Wikan sedang mandi, terdengar tangis bayi yang melengking, mengoyak sepinya malam.

Wikan yang sedang mandi itu terkejut mendengar tangis

Tatag. Getar suara tangisnya itu mengandung kekuatan yang tidak pernah ditemuinya pada bayi yang mana pun juga.

“Siapakah sebenarnya perempuan dan bayinya yang ada di rumah paman dan bibi itu? Apakah benar perempuan itu kemanakan bibi, atau karena tangis bayi itu. maka paman dan bibi telah membawanya kemari?”

Wikan mendengarkan tangis bayi itu dengan saksama. Keinginannya untuk melihat bayi itu telah mendesaknya. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus menjaga diri. Ia tidak boleh menakut-nakuti perempuan yang disebutnya sebagai kemanakan bibinya itu”

Karena itu, maka Wikan pun menahan keinginannya untuk melihat bayi yang sedang menangis itu, “Besok aku akan melihatnya juga” berkata Wikan didalam hatinya.

Dalam pada itu, ketika Tatag menangis, maka Tanjung pun segera mendukungnya dan membawa ke dapur.

“Bukankah anakmu tidak apa-apa?” bertanya Nyi Mina.

“Tidak bibi. Tetapi tangisnya akan dapat mengganggu tamu bibi itu”

“Tidak. Ia tidak akan merasa terganggu. Kemanakan pamanmu itu sekarang sedang berada di pakiwan”

Tanjung mengayun anaknya didalam gendongannya. Sejenak kemudian, setelah popok Tatag diganti dengan popok yang kering, maka Tatag pun terdiam. Bahkan ia pun telah tertidur kembali setelah beberapa titik bubur cair dengan gula kelapa di tuangkan ke mulutnya.

“Bawa anak itu kembali ke sentongnya” berkata Nyi Mina kemudian.

“Nanti saja bibi. Bersama bibi”

Nyi Mina tersenyum. Ia mengerti keseganan Tanjung.

Yang datang adalah seorang laki-laki yang belum pernah di kenalnya. Karena itu dibiarkannya Tanjung menggendong anaknya sambil berjalan hilir mudik di dapur.

Baru setelah minuman siap. Nyi Mina mengajak Tanjung masuk ke ruang dalam.

Ketika mereka sampai di ruang dalam, maka Wikan telah selesai mandi dan berbenah diri. Ia sudah duduk di amben bambu di ruang dalam.

Demikian ia melihat bibinya membawa nampan berisi mangkuk minuman bersama seorang perempuan yang menggendong bayinya, maka Wikan pun bangkit berdiri.

“Duduk sajalah Wikan” berkata Nyi Mina.

Wikan mengangguk hormat. Tanjung mengangguk hormat pula, “Inilah kemanakanku yang aku katakan itu, Wikan. Suaminya meninggal beberapa waktu yang lalu, meninggalkan seorang anak laki-laki”

Wikan mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Jadi bagaimana aku harus memanggil, bibi”

“Kau adalah kemanakan kakang Mina. Agaknya umurmu pun terpaut meskipun hanya sedikit. Sebaiknya kau panggil saja namanya, Tanjung. Kau akan menjadi saudara tua Tanjung. Tanjung akan memanggilmu kakang”

“Tetapi”

“Tanjung memang sudah pernah berkeluarga. Tetapi itu tidak akan menambah umurnya menjadi berlipat. Juga tidak akan merubah hubungan keluarga ini. Kau kemanakan kakang Mina dan Tanjung adalah kemanakanku. Bukankah sepantasnya kau menjadi lebih tua dalam hubungan ini”

“Ya. bibi”

“Nah, Tanjung. Panggil ia kakang Wilkan”

“Ya, bibi”

“Baiklah. Sekarang biarlah Tanjung membawa anaknya kc biliknya”

Tanjung tidak menjawab. Ia pun segera membawa anaknya masuk ke dalam sentongnya. Sementara Nyi Mina pun mempersilahkan Wikan untuk minum.

“Kau lapar apa tidak?” bertanya Nyi Mina.

“Sekarang belum, bibi”

“Kalau kau lapar aku akan menanak nasi. Yang ada sekarang hanyalah nasi jagung yang sudah aku tanak kemarin”

“Kemarin?”

“Ya. Nasi jagung tahan sampai dua hari. Aku terbiasa menyimpan nasi jagung, meskipun kadang-kadang aku juga menanak nasi beras”

“Kadang-kadang?”

“Ya, kadang-kadang. Aku lebih sering makan nasi jagung daripada nasi beras”

“Anak itu?”

“Itu lain. Ibunya selalu membuat bubur cair bagi Tatag”

“Siapa namanya?

“Tatag”

“Nama yang bagus”

“Sebagus Wikan”

“Ah, bibi”

Nyi Mina tersenyum. Sementara itu hampir berbisik Wikan bertanya, “Bibi pernah memperhatikan tangisnya?”

“Ya”

“’Paman?”

“Ya. Karena itulah maka pamanmu menghadap guru”

“Apa yang ingin paman katakan kepada guru?”

“Pamanmu ingin minta ijin kepada guru untuk mengolah kewadagan Tatag sejak dini. Apakah guru dapat membenarkan”

“Aku kira tidak ada salahnya”

“Kau percaya dengan sifat dasar seseorang yang dapat muncul dengan tiba-tiba dituar dugaan? Bagaimana jadinya jika sifat dasar anak itu tidak sebagaimana kita harapkan?”

“Ia masih bayi, bibi. Segala sesuatunya tergantung kepada paman, bibi dan ibu anak itu. Pendidikan dan pengajaran akan dapat menindih sifat-sifat yang tidak dikehendaki itu. Apalagi jika pergaulan anak itu dapat diatur”

“Kau sependapat jika pamanmu mengolah kewadagan anak itu?

“Aku sependapat, bibi. Tangisnya sangat menarik. Mudah-mudahan ia tumbuh sebagai orang yang dapat menjadi sandaran sesamanya didalam banyak hal”

“Itulah yang diharapkan pamanmu, Wikan”

“Aku dapat membantu paman untuk membentuk anak itu. Meskipun aku belum pernah menyentuh, tetapi aku dapat menduga, bahwa tubuh anak itu pun tentu kokoh sebagaimana tersirat dalam tangisnya”

“Ya. Aku juga berpendapat demikian”

Wikan mengangguk-angguk. Untuk sesaat ia justru melupakan dera yang telah mengusirnya dari rumahnya. Meskipun Wikan adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, tetapi ia sama sekali tidak dapat melawan ketika jantungnya sendiri seakan-akan telah melecut perasaannya.

“Nah” berkata Nyi Mina setelah Wikan minum minuman hangatnya, “sekarang terserah padamu Wikan. Apakah kau akan berceritera kepadaku sekarang atau menunggu sampai pamanmu pulang esok malam?”

“Bibi” berkata Wikan kemudian dengan nada berat, “rasa-rasanya beban yang harus aku usung itu terasa sangat berat. Tetapi tangis bayi itu terasa sedikit menghiburku, bibi. Aku justru dapat mengalihkan perhatianku dari diriku sendiri yang ternyata tumbuh di lingkungan yang sangat buruk”

“Lingkunganmu adalah lingkungan yang baik, Wikan”

“Dilihat dari jarak yang jauh tanpa menyelam kekedalaman lingkungan keluargaku, maka segala sesuatunya memang kelihatan baik, cerah dan penuh tawa. Tetapi ternyata yang ada didalamnya adalah lumpur sebagaimana dalam kubangan”

Nyi Mina mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Wikan. Aku dan pamanmu memang melihat keluargamu dari kejauhan. Kami tidak dapat mendekat dan melihat langsung menukik kedalam persoalan di lingkungan keluargamu”

“Bibi. Jika bibi tidak letih dan tidak mengantuk, aku ingin berceritera, bibi. Besok jika paman pulang, aku akan mengulanginya. Semakin sering aku berceritera tentang keprihatinanku terhadap keluargaku, maka beban yang aku usung tentu akan terasa semakin ringan. Bibi dan paman pun tentu tidak akan berkeberatan jika aku mohon untuk dapat tinggal disini”

“Aku belum mengantuk Wikan. Tadi aku sudah sempat tidur meskipun sebentar”

“Bukankah aku tidak akan mengganggu anak itu?”

“Bukankah kau tidak akan berteriak-teriak?”

Wikan sempat juga tersenyum. Katanya, “Bibi, ceritaku panjang. Mungkin esok, menjelang matahari terbit, baru akan selesai”

“Ceriterakan Wikan”

Wikan menarik nafas panjang. Dipandangnya pintu sentong yang dipergunakan oleh Tanjung dan anaknya. Sentong itu tidak ada daun pintunya. Tetapi sehelai kain berwarna suram bergayut menutup lubang pintu itu.

“Bibi” Wikan mulai dengan ceriteranya. Ceritera yang panjang seperti dikatakannya.

Ayah Wikan adalah seorang yang terpandang di padukuhannya. Semula kehidupan Ki Purba memang tidak terlalu cerah. Namun dengan bekerja keras, keadannya menjadi semakin baik. Dua orang saudara Wikan adalah perempuan. Wikan adalah anak bungsu keluarga Ki Purba.

Ketika Wikan menyadari keberadaan dirinya, maka keadaan keluarganya sudah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Wikan tidak pernah merasakan lapar jika orang tuanya tidak mempunyai sebutir beras atau jagung. Jika ketela pohon di kebun masih ada, maka Ki Purba mencabutnya sebatang untuk makan sekeluarga.

Wikan tidak pernah ikut merasakan pahit getirnya kehidupan sebelum ayahnya berhasil menggapai tataran kehidupan yang lebih baik.

Ketika ayahnya mengirimnya ke sebuah padepokan, berguru kepada seorang guru yang sangat baik dan berilmu tinggi, maka Wikan dengan sungguh-sungguh menekuninya. Apalagi di perguruan itu terdapat seorang uwaknya. Kakak dari ayahnya sendiri. Ki Mina yang sudah mendapat kepercayaan untuk membantu gurunya, mengalirkan ilmu perguruan itu kepada murid-muridnya, termasuk Wikan.

Namun akhirnya gurunya semakin tua itu tidak lagi bersedia menerima murid-murid yang baru. Wikan adalah muridnya yang bungsu. Namun justru karena itu, maka segala sesuatu yang dimiliki oleh gurunya telah dituangnya kepada Wikan, yang dianggapnya seorang anak yang baik, yang memiliki masa depan yang akan berarti bagi banyak orang. Sementara itu, uwaknya, Ki Mina yang kemudian menikah dengan seorang murid perempuan di perguruan itu, telah minta ijin untuk memperluas wawasannya, melengkapi pengalamannya dengan sebuah pengembaraan yang terhitung panjang.

Sementara itu, Wikan yang telah menjadi seorang anak muda yang mumpuni, tidak selalu berada di padepokannya. Ia sering pula berada di rumahnya bersama keluarganya.

Malam itu Wikan terkejut. Ia mendengar kakak perempuannya yang sulung menangis.

Namun Wikan tertegun ketika Wikan melihat dari celah-celah selintru biliknya, ayah dan ibunya duduk bersama kakak perempuannya yang menagis ini.

“Kau akan memilih laki-laki seperti apa lagi, Wuni?” bertanya ibunya, “laki-laki yang menginginkanmu menjadi isterinya itu adalah seorang laki-laki yang baik. Sabar, rendah hati dan mengerti akan kewajibannya sebagai seorang laki-laki. Ia anak seorang yang terpandang pula, Wuni”

“Ayah, ibu. Bukankah ayah dan ibu mengetahui, bahwa aku tidak mencintai laki-laki itu. Bukankah ayah dan ibu mengetahui, bahwa hariku telah tertambat kepada seorang laki-laki yang aku anggap baik, rajin bekerja dan tidak pula kalah mengerti tentang kewajibannya”

“Aku tidak sependapat bahwa kau berhubungan dengan laki-laki itu. Bukankah sejak awal sudah aku katakan? Kita tahu dengan jelas, keluarga laki-laki yang mencuri hatimu itu. Bukankah kau juga mengerti?”

“Ayah. Jika keluarga laki-laki itu dianggap kurang memenuhi keinginan ayah dan ibu, namun bukankah aku tidak akan menikah dengan mereka? Aku akan menikah dengan anak mereka. Dengan laki-laki yang aku kasihi”

“Kau kira sifat dan watak orang tuanya itu tidak akan menitik kepada anaknya?”

“Apakah sifat dan watak orang tua itu tentu akan tercermin pada sifat dan watak anaknya? Begitukah sifat dan watak kakek dan nenek? Apakah kakek dan nenek juga pernah memaksa ibu untuk menikah pada waktu itu?”

Jawab ayahnya memang mengejutkan. Kataya, “Ya, Wuni. Kami sebelumnya memang tidak saling mengenal. Malam itu aku dipanggil ayahku dan diberi tahu, bahwa aku akan menikah dengan seorang gadis yang tidak aku ketahui. Tetapi gadis itu masih mempunyai hubungan darah dengan aku”

“Ibukah gadis itu?”

“Ya. bertanyalah kepada ibumu, bahwa ibumu belum pernah mengenalku pada waktu itu”

“Ya. Wuni. Aku belum pernah melihat orangnya yang akan menjadi suamiku itu sebelumnya. Aku tidak pernah tahu, apakah ia seorang laki-laki yang cacat atau bahkan seorang laki-laki yang gila. Tetapi aku menerimanya apa adanya. Ternyata setelah kami berkeluarga, segala sesuatunya berjalan baik-baik saja. Kami dapat bersama-sama membangun keluarga kita dari satu tataran meningkat ketataran yang lebih tinggi, sehingga akhirnya, keluarga kita sekarang adalah keluarga yang terpandang. Karena itu, Wuni. Jangan merusak apa yang pernah kami rintis. Biarlah kami tetap saja menjadi keluarga yang terpandang. Tetapi jika kau tetap pada pendirianmu, memilih laki-laki bengal dan tidak tahu diri itu, maka nama keluarga kita akan cacat. Semua orang mengenal laki-laki itu. Cara hidupnya dan sikapnya yang tidak mengenal unggah-ungguh”

“Ayah memandang laki-laki itu pada sisinya yang buram. Jika saja ayah mau memandangnya dalam keutuhannya, maka ayah akan menemukan sisi-sisi yang baik pada laki-laki itu”

“Aku sudah mencoba mengenalinya dari segala sisi, Wuni. Tetapi aku tidak menemui sisi baiknya pada laki-laki itu”

“Ayah sudah terlanjur membencinya”

“Wuni” berkata ibunya, “Aku minta kau dapat mengerti. Orang tua tidak akan pernah menjerumuskan anaknya kcdalam petaka. Aku bukan jenis seorang ibu yang akan menggadaikan anaknya. Aku tidak mempergunakan kau untuk membayar hutang. Kita sekarang punya segala-galanya. Uang, sawah, kuda, lembu dan apalagi. Jika ayah dan ibu memilih laki-laki itu, tentu dengan pertimbangan-pertimbangan yang luas. Tentu bagi kepentinganmu, Wuni”

“Tetapi aku tidak mencintai laki-laki itu”

“Apakah kau mencintai laki-laki bengal itu?”

“Ayah jangan menyebutnya seperti itu”

“Baik. Ayah ingin bertanya, apakah kau mencintai laki-laki pilihanmu itu?”

“Ya, ayah”

“Tidak. Kau tidak mencintainya. Tetapi nafsu yang bergejolak di dalam dadamu. Aku akui bahwa laki-laki itu tampan. Tubuhnya yang kekar dengan perawakan yang sedang. Wajahnya yang nampak ceria penuh senyum dan tawa. Tetapi kau tahu, apa yang tersembunyi di dalam dadanya?”

“Tahu ayah”

“Apa?”

“Cinta yang dalam. Kasih sejati dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan”

“Kau baru saja menginjak masa dewasamu, Wuni. Itulah sebabnya, maka didalam mimpi-mimpimu kau bayangkan cinta yang mendalam seperti kasih sejati dari seorang laki-laki seperti laki-laki yang licik itu”

Wuni hanya dapat menangis. Ia benar-benar tidak dapat mengelak. Bahkan akhirnya, pada suatu hari, Wuni harus duduk bersanding dengan laki-laki yang dikehendaki oleh ayah dan ibunya.

Tetapi seperti kata ayah dan ibunya, laki-laki itu adalah laki-laki yang baik. Bahkan terlalu baik bagi Wuni.

Laki-laki itu adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Ia bekerja keras bukan saja untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, tetapi bahkan berlebih. Suami Wuni sama sekali tidak berkeberatan jika Wuni membantu ayah, ibu dan adik-adiknya.

Tetapi Ki Purba tidak memerlukan bantuan anak dan menantunya. Ki Purba sendiri adalah orang yang berkecukupan.

Namun ketenangan keluarga Ki Purba itu pada suatu hari telah terguncang. Ki Purba jatuh sakit.

“Ki Purba baru saja membeli sebilah keris luk lima?” bertanya seorang dukun yang berusaha mengobatinya.

“Ya, Kiai”

“Keris itu telah mengkhianati Ki Purba. Seharusnya keris itu dapat mendukung usaha Ki Purba agar menjadi semakin berkembang. Tetapi keris itu telah berusaha menyakiti bagian dalam tubuh Ki Purba”

“Jadi?”

“Keris itu harus di larung. Hanyutkan besok tengah malam di bengawan. Letakkan keris itu dalam sebuah peti kayu kecil yang tertutup rapat. Keris itu akan hanyut sampai ke muara. Keris itu tidak akan pernah mengganggu Ki Purba lagi”

“Hanya dimasukkan ke dalam peti kayu kecil?”

“Beri alas cinde dan taruh kembang telon di dakinya. Kantil, kenanga dan mawar yang berwarna merah. Jenang ngangrang dan tiga lembar daun dadap srep”

“Dadap srep yang sering dipergunakan untuk pupuk anak-anak yang sakit panas di ubun-ubun?”

“Ya”

“Apa hubungannya?”

“Kau percaya kepadaku?”

“Ya, Kiai”

“Jika kau percaya kepadaku, lakukan sesuai dengan petunjukku itu”

Ki Purba mengangguk-angguk. Ia pun kemudian telah memesan sebuah peti kayu kecil. Memasukkan salah satu kerisnya yang luk lima kedalamnya sesuai dengan petunjuk dukun yang mengobatinya. Keris itu pun kemudian di larung di sungai pada waktu dan saat yang ditetapkan oleh dukun yang mengobatinya itu.

Tidak seorang pun yang melihat apa yang dilakukan oleh dukun itu. Tetapi ternyata keris yang dilarung itu beberapa hari kemudian telah berada di rumah dukun itu.

Namun sakit Ki Purba tidak juga menyusut. Bahkan semakin hari menjadi semakin berat. Badannya menjadi kurus. Wajahnya pucat dan matanya menjadi cekung.

Sedikit demi sedikit kekayaan Ki Purba lah yang menyusut. Beberapa orang dukun yang pandai telah di panggil. Berapa pun mereka minta di bayar, Ki Purba tidak pernah mempersoalkan-nya. Tetapi penyakit Ki Purba masih saja bertambah parah dari hari ke hari.

Pada saat yang demikian, maka suami Wuni lah yang tampil. Sebagai seorang menantu yang baik, maka ia pun ikut membantu membeayai pengobatan Ki Purba. Bahkan suami Wuni telah pergi kemana-mana untuk mencari orang tua yang dianggapnya memiliki kepandaian yang tinggi.

Tetapi semua usaha itu ternyata sia-sia. Pada suatu pagi yang cerah, Ki Purba telah di panggil oleh Yang Maha Kuasa.

Terdengar tangis melengking di rumah Ki Purba itu. yang di tinggalnya menjadi sangat berduka. Wuni menangis terisak-isak. Suaminya mencoba untuk menenangkannya. Dengan kata-kata lembut suaminya berkata, “Sudahlah, Wuni. Jangan larut dalam kesedihan. Yang Maha Kuasa telah memanggil ayah menghadap kepadanya. Tidak seorang pun yang telah mengelak jika Yang Maha Kuasa menghendakinya. Kita sudah berusaha sejauh dapat kita lakukan. Tetapi itulah yang terjadi”

Wuni memang menjadi agak tenang. Kelembutan sikap suaminya dapat sedikit menghiburnya.

Namun ibunya dan adik perempuannya masih saja menangis. Wikan sendiri terhenyak kedalam kegetiran perasaan yang mendalam.

Pada saat itu, Ki Mina juga ada diantara mereka yang menjadi sibuk menyelenggarakan pemakaman adik laki-lakinya itu.

Saat-saat yang pahit itu pun perlahan-lahan telah berlalu. Kehidupan keluarga Ki Purba pun mulai berubah. Tidak ada lagi yang dapat menjadi sandaran hidup mereka. Ternyata Wikan yang lelah mewarisi ilmu yang sangat tinggi dari gurunya itu, tidak memiliki kepandaian untuk berdagang seperti ayahnya. Wikan yang dengan rajin menggarap sawahnya, tidak dapat menutup kebutuhan hidup keluarganya yang sudah terbiasa berada dalam kecukupan. Meskipun suami Wuni telah membantunya, namun kehidupan keluarga Ki Purba masih saja merasa sangat terkekang.

Sehingga akhirnya, Wiyati, kakak perempuan Wikan yang seorang lagi tidak dapat bertahan dalam keadaannya itu.

“Ibu” berkata Wiyati pada suatu hari, “Aku akan berusaha untuk dapat membantu kehidupan keluarga ini”

“Apa yang akan kau lakukan Wiyati?”

“Wandan mengajakku pergi ke Mataram, di Kota Raja, aku dapat bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga ini”

“Apa yang akan kau lakukan Wiyati?”

“Aku dapat berdagang seperti Wandan, ibu. Aku masih mempunyai sedikit tabungan untuk modal. Tabungan yang semakin lama semakin menyusut. Jika aku tidak berbuat sesuatu, maka tabungan itu akan segera habis. Sementara kita tidak dapat selalu menggantungkan hidup kita kepada Yu Wuni. Kasihan suaminya. Apalagi sebentar lagi Yu Wuni akan mempunyai anak. Ia perlu membeayai hidup keluarganya sendiri yang semakin lama menjadi semakin besar. Meskipun suami Yu Wuni itu terhitung kaya, tetapi kita tidak dapat hidup sebagai benalu”

“Wiyati. Kau adalah seorang perempuan. Seorang gadis. Kau tidak dapat hidup sendiri di Kota Raja. Mataram adalah kota yang sibuk. Kehidupan disana terasa amat kejam. Yang berhasil akan menjadi kaya raya. Tetapi yang gagal akan terpuruk di rumah-rumah yang kumuh di pinggir-pinggir sungai”

Wiyati tersenyum. Sambil mendekat ibunya Wiyati pun berkata ibu, ternyata Wandan telah berhasil. Ia menjadi kaya sekaran, ia adalah seorang gadis yang tidak kekurangan apa-apa. Wandan dapat membeli apa saja yang diingininya.

Bahkan Wandan telah membeli rumah bagi dirinya sendiri di samping rumah orang tuanya. Wandan adalah seorang gadis yang mandiri”

“Aku mencemaskanmu, Wiyati”

“Ibu. Wandan sekarang sedang pulang. Biarlah besok Wandan singgah untuk menemui ibu. Ia akan dapat memberikan gambaran tentang kehidupan yang ditempuhnya di Mataram”

“Di Mataram, Wandan tinggal di rumah siapa, Wiyati?”

“Di rumah bibinya, ibu. Wandan pun berjanji untuk memberikan tempat tinggal bagiku di rumah bibinya yang sangat besar itu. Ibu, bibi Wandan adalah seorang yang sangat kaya di Mataram. Seorang pedagang permata yang berhasil. Dari bibinya itulah Wandan belajar berdagang. Dan Wandan pun berjanji untuk mengajariku berdagang. Mungkin dagangan kami akan berbeda. Tetapi dasarnya tentu akan sama. Aku berkeyakinan bahwa aku pun akan berhasil. Aku tidak lebih bodoh dari Wandan, Ibu. Bahkan aku kira, aku mempunyai sedikit kelebihan”

Ibunya menarik nafas panjang.

Seperti yang dikatakan Wuni, maka di keesokan, Wandan pun singgah di rumah Wiyati. Diceritakannya jalan hidupnya yang cerah di Kota Raja. Keberhasilannya dalam dunia perdagangan telah membuatnya menjadi seorang gadis yang tidak harus bergantung kepada orang lain.

“Aku dapat mandiri ibu. Pada saat yang gawat, dimana di tuntut seorang perempuan dapat hidup dari hasil keringatnya sendiri, aku tidak akan canggung lagi”

“Terima kasih atas kesediaanmu membantu Wiyati, ngger. Aku titipkan anakku. Angger Wandan yang sudah lama tinggal di Mataram, tentu akan dapat memberikan beberapa petunjuk yang berarti bagi Wiyati.

“Tentu bibi. Aku akan membantu Wiyati sehingga Wiyati dapat mandiri. Bibiku yang tinggal di Kota Raja tentu akan bersedia membantunya juga”

Nyi Purba tidak dapat lagi mencegah Wiyati pergi bersama Wandan. Ketika Wiyati minta diri untuk berangkat ke Mataram, ibunya memeluknya sambil menangis, “Hati-hatilah kau hidup di kota besar Wiyati”

“Aku sudah dewasa ibu. Aku sudah tahu, mana yang baik dan mana yang buruk. Wandan pun akan membimbingku agar aku dapat menempatkan diriku”

Hari itu Wiyati pergi. Yang tinggal di rumah adalah Wikan dan ibunya. Wikan yang sibuk bekerja di sawahnya, menjadi semakin jarang pergi ke padepokannya. Namun Wikan tetap saja murid bungsu yang sangat dikasihi oleh gurunya.

Di bulan-bulan pertama, Wiyati masih belum menengok keluarga yang ditinggalkan. Tetapi ketika Wandan yang keadaannya sudah menjadi semakin baik itu pulang, Wiyati sudah dapat menitipkan sedikit uang bagi ibunya.

“Angger Wandan” berkata Nyi Purba kepada Wandan ketika Wandan menyerahkan titipan Wiyati, “apakah Wiyati sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga ia menitipkan uang ini kepada angger?”

“Sudah, bi. Meskipun belum begitu berhasil, tetapi usahanya sudah berjalan baik”

“Ngger. Tolong, serahkan uang ini kembali kepada Wiyati. Mungkin ia memerlukannya. Kami disini tidak banyak membutuhkan uang. Wikan telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari. Wuni masih juga membantu kami sehingga kami tidak merasa kekurangan apa-apa”

Wandan tersenyum. Katanya, “Bibi tidak usah mencemaskan Wiyati. Ia dalam keadaan baik. Ia sudah dapat menabung serba sedikit. Karena itu, biarlah uang itu aku tinggal saja disini. Mungkin bibi memerlukannya. Mungkin Wikan yang tumbuh menjadi dewasa penuh. Mungkin ada keperluan yang tiba-tiba”

“Tetapi bukankah Wiyati yang tinggal di kota besar lebih membutuhkan?”

“Wiyati sudah dapat memenuhi kebutuhannya” Nyi Purba tidak dapat menolak. Akhirnya uang itu pun diterimanya juga.

Semakin lama Wiyati tinggal di kota, maka kirimannya pun menjadi semakin banyak pula. Bahkan meskipun jarang-jarang, namun Wiyati sudah sempat sekali-sekali pulang mengunjungi ibu dan adiknya.

Cahaya kehidupan di keluarga Nyi Purba itu pun mulai bersinar kembali. Meskipun Ki Purba sudah tidak ada, namun pilar-pilar yang menyangga kehidupan keluarga itu pun rasa-rasanya justru semakin bertambah. Keluarga Wuni yang berkecukupan, Wiyati yang semakin sering mengirimkan uang serta Wikan yang bekerja keras menggarap sawah dan petegalan, membuat keluarga Nyi Purba itu nampak semarak.

Malam itu, ketika lampu-lampu minyak di rumah Nyi Purba mulai redup, seorang cantrik dari padepokan telah datang untuk menemui Wikan.

“Ada apa, kakang?” bertanya Wikan kepada cantrik yang dalam tatanan perguruannya lebih tua dari Wikan.

“Kau di panggil oleh guru malam ini”

“Malam ini?”

“Ya, Wikan. Ada sesuatu yang penting yang akan guru katakan kepadamu”

“Baik. Baik. Aku akan menghadap guru” Wikan pun kemudian membangunkan ibunya yang sudah tertidur untuk minta diri.

“Ada apa Wikan?”

“Aku belum tahu ibu”

“Tentu ada yang penting, sehingga gurumu membangunkan-mu malam-malam begini”

“Agaknya memang demikian ibu. Biarlah aku menghadap malam ini. Aku minta diri”

“Hati-hati Wikan. Jika tidak penting, maka gurumu tidak akan memanggilmu, karena di padepokan masih ada beberapa orang cantrik, justru kakak-kakak seperguruanmu”

“Ya, ibu” jawab Wikan sambil berbenah diri.

Sejenak kemudian, maka Wikan pun telah pergi ke padepokan bersama dengan seorang kakak seperguruannya. Meskipun cantrik itu lebih tua dari Wikan, baik umurnya maupun dalam urutan masa berguru, tetapi tidak seorang pun diantara para cantrik yang memiliki kemampuan setinggi murid bungsu yang sangat dekat dengan gurunya itu.

Demikian, maka malam itu, Wikan telah diterima gurunya justru didalam sanggarnya.

“Ampun guru” berkata Wikan setelah duduk di hadapan gurunya, “sudah beberapa hari aku tidak menghadap di padepokan ini. Aku sedang sibuk sekali di sawah guru”

“Tidak apa-apa Wikan. Menggarap sawah itu juga tugasmu. Jadi jika kau bekerja di sawah itu berarti bahwa kau telah menjalankan tugasmu dengan baik”

“Ya, guru”

“Tetapi Wikan. Ada satu hal yang penting yang harus kita lakukan. Tetapi sebelumnya aku ingin bertanya, apakah kerjamu di sawah masih banyak?”

“Tidak guru. Aku sudah selesai. Kerja yang tersisa telah aku serahkan kepada dua orang yang selama ini membantu aku menggarap sawah peninggalan ayah itu”

“Baiklah. Jika kerjamu sudah selesai, aku akan mengajakmu pergi ke Kota Raja”

“Ke Kota Raja?”

“Ya. Esok pagi-pagi sekali”

“Jika aku boleh tahu, ada keperluan apa guru pergi ke Mataram?”

“Aku ingin menghadap Ki Tumenggung Reksaniti. Ki Tumenggung Reksaniti adalah seorang saudara sepupuku. Namun umurnya masih belum setua aku. Nampaknya Ki Tumenggung mengalami kesulitan sehingga seorang utusannya telah datang kepadaku”

“Kesulitan apa, guru?”

“Itulah yang belum jelas bagiku. Karena itu, esok pagi-pagi sekali, aku akan mengajakmu pergi ke Mataram. Kita akan pergi berkuda. Sebelum matahari terbit, kita akan berangkat”

“Baik, guru. Aku akan siap disini sebelum matahari terbit”

“Wikan” berkata gurunya kemudian. Nada suaranya menjadi semakin bersungguh-sungguh, “selain kepentingan Ki Tumenggung Reksaniti, sebenarnya aku ingin bertanya kepadamu, apakah ada niatmu untuk pergi dan tinggal di Mataram”

“Maksud guru?”

“Sekian lama kau menuntut ilmu Bahkan menurut pendapatku, kau telah berhasil mendapatkan ilmu itu. Bukan saja ilmu kanuragan, tetapi juga berbagai ilmu yang lain, bahkan serba sedikit, tentang kawruh kajiwan. Karena itu, aku ingin tahu, apakah tidak ada minatmu untuk mengamalkan ilmumu itu”

Wikan menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu ia pun berkata, “Guru. Jika aku pergi, lalu bagaimana dengan ibu? Siapa pula yang akan mengerjakan sawah”

“Sawahmu akan dapat dikerjakan oleh orang lain, Wikan. Mungkin dengan membagi hasilnya Ibumu akan dapat disambangi oleh Wuni. Setiap kali Wuni dapat mengunjungi ibumu. Bukankah rumahnya tidak terlalu jauh?”

“Ya, guru”

“Wikan. Bagiku kau adalah salah satu diantara mereka yang memiliki bekal untuk mengabdikannya di lingkungan yang lebih luas dari sebuah padukuhan atau katakan sebuah kademangan. Kau dapat mengabdi di Mataram”

Wikan termangu-mangu sejenak.

Karena Wikan tidak segera menjawab, maka gurunya itu pun berkata pula, “Nah, jika kau sependapat, aku akan berbicara dengan Ki Tumenggung Reksaniti. Mungkin ia dapat membantumu mencarikan jalan bagi pengabdianmu”

Wikan menundukkan kepalanya. Ia tidak segera dapat mengambil keputusan. Dengan nada berat ia pun kemudian menjawab, “Guru. Jika guru berkenan, aku ingin berbicara dengan ibu”

“Ya. Kau memang harus berbicara dengan ibumu, Wikan. Tetapi sebaiknya kau pun menyampaikan beberapa pertimbangan kepada ibumu. Jika ilmu yang telah kau tekuni itu tidak kau amalkan, maka sia-sialah kerja kerasmu selama ini”

“Ya, guru”

“Nah, sekarang pulanglah. Kau sempat membicarakannya dengan ibumu sebelum kau datang kemari menjelang matahari terbit”

“Baik guru. Aku akan berbicara dengan ibu” Wikan pun kemudian meninggalkan gurunya. Ketika ia sampai di rumah, ternyata ibunya masih menunggunya di ruang tengah. Karena itu, ketika Wikan mengetuk pintu butulan, ibunya segera menyapa, “Siapa dituar?”

“Aku ibu”

Ibunya segera bangkit untuk mengangkat selarak pintu butulan.

“Apakah ada yang penting yang dikatakan oleh gurumu, Wikan, sehingga malam-malam kau dipanggilnya”

“Guru akan mengajakku pergi ke Kota Raja ibu. Ada yang penting di Kota Raja Sebelum matahari terbit, kami akan berangkat. Guru mengajakku berkuda agar perjalanan kami tidak terlalu lama”

“Ada apa di Kota Raja?”

“Guru telah diminta datang oleh saudara sepupunya, Ki Tumenggung Reksaniti. Guru juga belum tahu, persoalan apakah yang sedang dihadapi oleh Tumenggung Reksaniti itu”

“Jadi kau akan pergi ke Mataram bersama gurumu?”

“Ya, ibu. Selain keperluan Ki Tumenggung Reksaniti, guru memberikan satu kemungkinan satu kemungkinan yang dapat aku jalani menjelang masa depanku, ibu”

“Apa hubungannya, Wikan?”

“Guru akan minta kepada saudara sepupunya itu, untuk memberi kesempatan kepadaku mengabdikan diri di Mataram. Mungkin sebagai seorang prajurit. Tetapi mungkin dalam tugas-tugas yang lain, agar ilmu yang pernah aku warisi dari guru tidak tersembunyi diantara pematang-pematang sawah.

Ibunya menarik nafas panjang. Katanya, “Kau tahu, aku sendirian di rumah, Wikan”

“Ya, ibu. Tetapi bukankah rumah Yu Wuni tidak terlalu jauh. Suaminya ternyata juga seorang yang baik. Sehingga Yu Wuni dan suaminya akan sering dapat mengunjungi ibu disini”

Nyi Purba menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa ia tidak boleh mementingkan dirinya sendiri sehingga menutup jalan panjang bagi Wikan menuju ke masa depannya.

“Jika anak itu dapat menyusuri jalan ke jenjang yang lebih tinggi, apakah aku sampai hati untuk membiarkannya setiap hari berendam di dalam lumpur”

Akhirnya Nyi Purba mengambil keputusan, bahwa ia harus mendahulukan kepentingan anaknya dari kepentingannya sendiri.

“Wikan” berkata Nyi Purba, “Jika kau memang ingin menempuh jalan menuju ke masa depanmu di Mataram, pergilah. Jangan cemaskan aku. Seperti katamu, mbokayumu dan suaminya yang baik itu tentu akan sering datang menengokku kemari”

“Terima kasih, ibu” desis Wikan dengan suara yang dalam.

Seperti yang direncanakan oleh gurunya, maka menjelang matahari terbit, Wikan telah siap di padepokan.

“Marilah Wikan” berkata gurunya, “Kita segera saja berangkat. Perjalanan kita cukup jauh. Mudah-mudahan sebelum matahari turun, kita sudah sampai di Kota Raja”

Demikianlah, maka keduanya pun segera meninggalkan padepokan menuju ke Kota Raja.

Langit cerah ketika cahaya matahari pagi mulai meraba mega-mega yang melintas seperti gumpalan-gumpalan kapuk raksasa yang berlayar dari cakrawala ke cakrawala.

Wikan dan gurunya melarikan kuda-kuda mereka melintasi bulak-bulak panjang. Tidak banyak yang mereka bicarakan di sepanjang jalan. Sebenarnyalah bahwa guru Wikan itu pun selalu bertanya-tanya di dalam hatinya, untuk apa saudara sepupunya itu menyampaikan pesan agar ia datang ke Kota Raja. Bahkan sepupunya itu menghadap dengan sungguh-sungguh.

Keduanya tidak mengalami hambatan yang berarti di perjalanan. Di tengah hari keduanya berhenti di tepi sebuah sungai kecil yang jernih airnya. Mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk minum dan makan rerumputan segar sambil beristirahat.

Wikan dan gurunya pun duduk di bawah sebatang pohon yang rindang pada saat kuda mereka menyusuri tanggul sungai kecil yang ditumbuhi rerumputan.

Angin yang semilir terasa sejuknya mengusap kulit wajah mereka.

Wikan tertarik kepada seorang laki-laki separo baya yang menyusuri sungai kecil itu sambil setiap kali menebarkan jala.

“Ada juga ikan di sungai kecil itu” desis Wikan.

“Ya” sahut gurunya, “wader pari adalah jenis ikan-ikan sungai yang enak sekali”

Setiap kali jala itu ditebarkan dan kemudian diangkat, orang yang sudah separo baya itu pun memunguti ikan-ikan kecil yang tersangkut di jalalnya. Meskipun ikan-ikan itu terhitung kecil, tetapi karena jumlahnya banyak, maka kepisnya pun menjadi hampir penuh karenanya.

Sejenak kemudian, maka laki-laki yang menebarkan jala di sungai kecil itu semakin lama menjadi semakin jauh ke udik dan akhirnya hilang di tikungan.

Sejenak kemudian, maka Wikan dan gurunya pun segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Kuda-kuda mereka telah cukup beristirahat minum dan makan rumput segar.

Namun dalam pada itu, sebelum mereka beranjak pergi, mereka melihat dua orang yang semula duduk di pematang sawah, di seberang sungai telah bangkit berdiri. Selain mereka berdua, maka dua orang lagi meloncat turun dari sebuah gubug kecil tidak jauh dari tebing yang landai. Bahkan kemudian, mereka pun melihat orang yang membawa jala menyusuri sungai itu telah berada di seberang pula.

“Wikan” berkata gurunya, “sepanjang perjalanan kita, kita tidak mendapat hambatan apa-apa. Tetapi agaknya perjalanan yang lancar itu akan terganggu”

“Ya, guru. Tetapi apakah mereka berurusan dengan kita?”
“Aku tidak dapat mengenali mereka, Wikan. Tetapi kita harus berhati-hati”

Ketika Wikan sempat menghitung orang yang kemudian datang mendekatinya, ia pun berdesis, “Semuanya enam orang guru”

Gurunya menarik nafas panjang. Katanya, “Apa pula yang akan mereka lakukan. Bukankah kita tidak berbuat apa-apa? Kita tidak pernah membuat persoalan apa pun juga. Kita tidak pernah merugikan orang lain”

“Mungkin ada kesalah pahaman guru”

“Mudah-mudahan Wikan”

Dalam pada itu, dua orang yang mendekat lebih dahulu dari kawan-kawannya bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Kiai Margawasana?”

“Ya, Ki Sanak. Orang menyebutku Kiai Margawasana. Aku juga mempunyai beberapa sebutan lain. Orang-orang di padukuhan dekat padepokanku menyebutku Kiai Kliwon, karena nama kecilku memang Kliwon”

“Baiklah Kiai. Siapa pun sebutan Kiai yang lain, tetapi aku memang ingin bertemu dengan Kiai Margawasana”

“Kau siapa Ki Sanak?” bertanya guru Wikan.

“Kiai tidak usah mengetahui siapa aku. Itu tidak penting”

“Jika demikian, apa kepentingan Ki Sanak menemui aku disini sekarang ini?”

“Kiai akan pergi ke Mataram?”

“Ya”

“Ke rumah Ki tumenggung Reksaniti?”

“Ya”

“Sebaiknya Kiai mengurungkan niat Kiai”

“Kenapa?”

“Kiai tidak perlu bertanya. Jika aku minta Kiai mengurungkan niat Kiai pergi ke Mataram, tentu bukan tanpa sebab”

“Aku tahu. Tetapi karena aku tersangkut di dalamnya, maka aku ingin tahu tentang sebab itu”

“Sudahlah, Kiai. Kembalilah. Jangan meneruskan perjalanan.”

“Jika aku tahu sebabnya dan sebab itu masuk di dalam akalku, maka aku akan kembali. Tetapi karena sebab itu menjadi tidak jelas, maka aku kira aku tidak akan dapat memenuhinya”

“Kiai. Jangan memaksa. Jika Kiai memaksa maka kami pun akan memaksa Kiai kembali”

“Apakah kita harus menunjukkan siapakah yang terkuat diantara kita?”

“Jangan mencelakakan diri sendiri, Kiai. Aku tahu bahwa Kiai adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi kami berenam juga berilmu tinggi”

“Ki Sanak. Marilah kita berbicara berterus-terang. Mungkin telah terjadi salah paham diantara kita. Jika kita saling bcrtcrus-tcrang mungkin kita akan dapat memecahkan kesalah-pahaman itu”

“Tidak ada kesalah-pahaman, Kiai. Semuanya sangat jelas bagiku. Kiai harus kembali. Jika Kiai memaksa, maka kami mendapat wewenang dengan segala cara mengurungkan niat Kiai itu. Bahkan jika perlu, membunuh sekalipun”

“Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan kembali. Aku akan berjalan terus ke Mataram, menemui Ki Tumenggung Reksaniti”

“Sekali lagi aku peringatkan, Kiai. Kiai harus kembali”

“Tidak. Apa pun yang akan terjadi atas diri kami berdua, kami tidak akan kembali. Kecuali jika alasannya itu masuk akal”

“Jika demikian, Kiai sudah siap untuk mati”

“Kami tidak ingin mati. Tetapi kami pun tidak ingin kembali hanya karena ancaman kalian”

“Kami tidak sekedar mengancam. Kami benar-benar akan melakukannya”

“Terserah kepada kalian. Tetapi kami tidak mau kembali”

“Bagus” pemimpin dari sekelompok orang itu pun kemudian memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, “jangan lepaskan kedua orang ini. Karena mereka sudah menentang kehendak baik kita, maka mereka harus menanggung akibatnya. Kita tidak hanya sekedar akan menghentikannya disini. Tetapi untuk seterusnya mereka tidak akan pernah sampai ke Mataram”

Orang-orang itu pun kemudian berpencar. Nampaknya tiga orang akan menghadapi Kiai Margawasana, sedangkan tiga yang lain akan menghadapi anak muda yang menyertai Kiai Margawasana itu.

“Sayang anak muda” berkata seorang diantara mereka yang telah siap menghadapi Wikan, “ternyata kau tidak berumur panjang. Kau akan mati di tengah-tengah bulak yang sepi ini. Tubuhmu akan dibiarkan terbaring di tengah jalan ini. Burung-burung gagak akan segera menyelesaikannya”

Wikan bergeser menjauhi gurunya. Ia pun segera bersiap mempertahankan dirinya.

“Namamu siapa, anak muda?” bertanya seorang di-antara ketiga lawannya.

“Pentingkah nama itu?” Wikan justru bertanya, “kalian tidak bersedia menyebut nama. Apakah aku harus mengatakan siapa namaku?”

Orang yang bertanya itu tertawa. Katanya, “Kau sudah diajari menyombongkan diri oleh orang tua itu. Apa hubunganmu dengan Kiai Margawasana”

“Apakah itu juga penting?”

“Persetan” orang itu menggeram, “bersiaplah untuk mati tanpa disebut namamu”

Wikan tidak sempat bergeser lagi. Ketiga orang itu pun segera menyerang beruntun.

Tetapi Wikan sudah mempersiapkan diri. Karena itu, maka ia pun segera berloncatan mengelakkan serangan-serangan itu.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, maka Wikan pun telah bertempur melawan tiga orang yang bertempur dengan keras dan kasar.

“Anak itu akan mati lebih dahulu, Kiai. Kaulah yang mengajaknya pergi menjemput kematiannya. Karena itu, maka kaulah yang bertanggung-jawab”

“Ia bukan anak-anak lagi. Ia harus mempertanggung-jawabkan keselamatan dirinya sendiri. Jika ia mati, maka itu adalah tanggung-jawabnya sendiri, kenapa ia tidak dapat mempertahankan diri. Tetapi aku berkeyakinan, bahwa anak itu masih akan mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Bukankah kau tahu, bahwa ajal seseorang berada di tanganNya”

“Itu adalah sandaran orang yang berputus-asa. Aku tahu, Kiai. Kau pun telah berputus-asa. Kau merasa tidak akan pernah dapat keluar dari lingkaran pertempuran ini. Karena itu, maka sekali lagi aku beri kesempatan. Pulanglah. Ajak anak itu pergi dari sini”

“Tidak. Kami akan berjalan terus”

“Kau sangat menjengkelkan Kiai. Kau sudah menjadi semakin tua. Wadagmu tidak akan dapat mendukungmu lagi untuk bertempur melawan kami bertiga”

“Apapun yang terjadi”

Ketiga orang yang berdiri ditiga arah itu pun tidak sabar lagi. Mereka pun telah berloncatan menyerang pula.

Ternyata orang tua itu masih saja tetap sigap. Dengan cepat ia mengelakkan serangan-serangan lawannya. Bahkan dengan cepat pula ia telah membalas menyerang lawan-lawannya.

Pertempuran pun segera menjadi semakin meningkat. Orang-orang yang mencegat Kiai Margawasana dan Wikan ingin segera menyelesaikan tugas mereka. Menghentikan Kiai Margawasana agar ia tidak akan pemah sampai di Mataram menemui Ki Tumenggung Reksaniti.

Ternyata ke enam orang yang menghentikan perjalanan Kiai Margawasana dan Wikan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka mampu bergerak dengan cepatnya.

Ayunan tangan dan kaki mereka, telah menimbulkan desir angin yang menyambar-nyambar.

Kiai Margawasana dan Wikan pun harus semakin meningkatkan ilmu mereka. Lawan-lawan mereka bergerak sangat cepat. Tenaga mereka sangat besar serta kemampuan mereka pun cukup tinggi.

Wikan terdesak beberapa langkah surut ketika ketiga lawannya itu bersama-sama telah menghentakkan ilmu mereka. Namun Wikan pun segera menjadi mapan. Bahkan sekali-sekali lawannyalah yang harus berloncatan mengambil jarak, jika serangan Wikan datang membadai.
Kiai Margawasana sempat memperhatikan keadaan Wikan. Namun Kiai Margawasana itu melihat bahwa muridnya masih berada dalam kedudukan yang baik. Bahkan Kiai Margawasana berharap bahwa muridnya itu akan dapat mengatasi ketiga orang lawannya.

Kiai Margawasana sendiri tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Serangan-serangan lawannya kadang-kadang memang sempat mendesaknya. Namun Kiai Margawasana pun segera berhasil mengatasinya.

Meskipun keenam orang itu kemudian telah mengerahkan kemampuan mereka, namun ternyata bahwa sulit bagi mereka untuk mengalahkan lawan mereka yang hanya terdiri dari dua orang itu. Bahkan lawan mereka yang muda itu pun justru menjadi semakin lama semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan membingungkan.

Ketika serangan seorang lawannya sempat mengenai punggungnya, Wikan terdorong beberapa langkah justru kedepan. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaanya, maka kaki seorang lawannya yang lain telah menyambar dadanya.

Demikian kerasnya sehingga Wikan hampir saja kehilangan keseimbangannya.

Dalam keadaan yang demikian, Wikan melihat seorang lawannya yang lain, meluncur dengan kecepatan yang tinggi serta kaki terjulur lurus mengarah ke dadanya.

Wikan tidak mempunyai banyak kesempatan. Wikan tidak pula dapat menangkisnya karena keseimbangannya yang kurang mapan.

Karena itu, Wikan justru telah menjatuhkan dirinya, sehingga serangan lawannya itu luput. Dengan demikian, maka kaki lawannya yang meluncur lurus itu tidak sempat merontokkan iganya.

Namun sekejap kemudian, Wikan pun telah meloncat bangkit. Sekali melenting dan berputar dengan cepat sambil mengayunkan kakinya mendatar.

Terdengar seorang diantar ketiga orang lawannya itu mengaduh tertahan.

Ternyata kaki Wikan telah menyambar keningnya. Orang itu tidak mampu mempertahankan keseimbangannya ketika ia terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya pun kemudian terbanting dan kemudian berguling menimpa tanggul parit di pinggir jalan itu.

Orang itu pun segera meloncat bangkit sambil mengumpat kasar.

Wikan tidak sempat memperhatkannya terlalu lama. Dua orang lawannya yang lainnya berusaha untuk menyerangnya serentak agar kawannya yang terpenting jatuh itu sempat memperbaiki keadaannya.

Orang yang terpenting menimpa tanggul parit itu pun memang segera bersiap untuk bertempur kembali. Selangkah demi selangkah ia pun telah kembali memasuki arena pertempuran.

Namun bersamaan dengan itu, seorang diantara ketiga orang yang bertempur melawan Kiai Margasana pun telah terlempar dari arena. Ketika orang itu terjatuh, ia tidak saja menimpa tanggul parit. Tetapi tubuhnya justru lelempar ke dalam parit yang sedang mengalir itu.

Tubuh dan pakaiannya pun menjadi basah kuyup. Ketika dengan tergesa-gesa ia bangkit dan naik ke tanggul yang rendah, kakinya telah tergelincir. Sekali lagi ia terjatuh ke dalam air parit yang bening itu. Meskipun parit itu tidak cukup dalam untuk membenamkan tubuhnya, namun pakaian orang itu pun telah menjadi basah kuyup.

“Gila Kiai Margawasana” teriak orang itu, “Kau telah membasahi pakaianku yang baru ini”

Kiai Margawasana tidak menjawab. Namun ketika orang itu sekali lagi naik keatas tanggul, maka ia tidak lagi tergelincir. Tetapi seorang kawannya yang terlempar pula dari arena telah menimpanya.

Keduanyalah yang kemudian bersama-sama terjun ke dalam parit. Seorang diantara mereka jatuh tertelungkup, se-hingga wajahnya terpuruk ke dalam arus air parit itu.

Dituar kehendaknya, air parit itu ikut terhisap kedalam perutnya lewat lubang hidungnya.

Keduanya pun segera bangkit berdiri. Seorang diantara mereka telah terbatuk-batuk. Hidungnya terasa panas. Namun beberapa teguk air parit itu telah tertelan.

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali ke arena. Namun dalam pada itu, Kiai Margawasana telah menyerang lawannya yang seorang dengan tangannya yang terjulur lurus dengan telapak tangan yang terbuka serta jari-jari merapat mengenai lambungnya.

Terdengar orang itu berteriak kesakitan. Perlahan-lahan ia jatuh berlutut. Namun kemudian tubuhnya itu pun terguling di tengah-tengah jalan.

Kedua erang lawannya tertegun melihat kawannya itu menggeliat-geliat kesakitan.

“Kau apakan kawanku itu, iblis?” geram seorang diantara ketiga lawannya, seorang yang dianggap pemimpin dari keenam orang yang menghentikan Kiai Margawasana dan Wikan itu.

“Aku telah memukul lambungnya” jawab Kiai Margawasana sambil bergeser surut menjauhi tubuh yang masih menggeliat kesakitan itu. Bahkan nafasnya pun kemudian terasa menjadi sesak.

“Kau memang tidak pantas untuk dimaafkan. Kau telah menyakiti seorang kawanku. Kau juga telah menolak untuk mematuhi perintahku. Sekarang aku telah mengambil keputu-san, bahwa kau harus mati”

“Sejak tadi kau berbicara tentang mati. Tetapi kau tidak akan pernah dapat melakukannya”

Kedua orang lawan Kiai Margawasana yang lain pun tiba-tiba saja telah menarik senjata. Seorang bersenjata golok yang besar, sedangkan yang seorang lagi bersenjata luwuk yang berwarna kehitam-hitaman.

“Kau benar-benar telah terperosok kedalam kandang macan Kiai. Sebentar lagi darahmu akan dihisap oleh senjata-senjata kami”

Kiai Margawasana bergeser surut lagi sambil berkata, “Jangan bermain api. Senjata-senjata itu sangat berbahaya. Bukan saja bagiku, tetapi juga bagimu.

Sambil mengusap bibirnya yang pecah dan mulai berdarah, pemimpin sekelompok orang itu berkata pula, “Kau takut melihat ujung senjataku?”

“Tidak. Tetapi senjatamu itu sangat berbahaya bagimu sendiri. Kau akan dapat terbunuh oleh senjata-senjata kalian sendiri itu. Tanpa senjata kita hanya akan menghentikan perlawanan lawan-lawan kita. Tetapi jika ada senjata diantara kita, maka ujung senjata itu akan dapat mengoyak dada”

“Aku memang akan mengoyak dadamu”

“Tetapi yang bernasib buruk dapat saja salah seorang diantara kalian. Atau bahkan dua orang atau ketiga-tiganya”

“Cukup. Kau adalah seorang yang paling sombong yang pernah aku jumpai. Kiai. Jika kita sekali lagi terlibat kedalam pertempuran, maka kau tidak akan pernah melihat matahari itu terbenam senja nanti”

Kiai Margawasana menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya aku pun memberi peringatan kepada kalian, bahwa senjata-senjata kalian itu akan dapat membunuh kalian sendiri. Karena itu selagi belum terlanjur, hentikan usahamu yang gagal ini. Jika kalian masih akan bertempur lagi, maka yang akan datang kepada kalian adalah kematian”

“Kau justru mulai mengigau. Sebaiknya kau perhatikan langit yang cerah. Matahari yang sinarnya menjadi semakin terik. Sebaiknya kau minta diri daripadanya pada saat-saat kau menatap untuk yang terakhir kalinya”

Kiai Margawasana tertawa pendek sambil berkata, “Kalian tidak mau melihat kenyataan tentang orang-orangmu. Lihat kawan-kawanmu yang bertempur melawan anakku itu”

Hampir dituar sadar mereka, kedua orang itu berpaling. Mereka melihat seorang yang terbaring diatas tanggul. Orang itu telah terlempar dari arena pertumpuran. Tubuhnya telah menimpa sebatang pohon turi yang tumbuh di pinggir jalan, sehingga terasa tulang belakangnya seakan-akan telah menjadi retak,

Kedua orang yang lain masih berusaha untuk menghentikan perlawanan Wikan. Bahkan keduanya pun telah bersenjata pula.

Namun Wikan pun telah menggenggam pedang pula di tangannya. Ketika kedua orang lawannya itu menyerang bersama-sama, maka Wikan dengan tangkasnya berloncatan sambil memutar pedangnya.

Tiba-tiba saja seorang lawannya terdorong beberapa langkah surut. Darah mengalir dari bahunya yang terkoyak.

“Kau tidak akan mempunyai kesempatan” berkata Kiai Margawasana kepada kedua orang lawannya yang sudah bersenjata itu.

“Persetan” geram pemimpin sekelompok orang itu.

“Baiklah” berkata Kiai Margawasana, “jika kalian berkeras untuk bertempur dengan senjata, silahkan. Kita akan melihat, siapakah yang akan menentukan dalam pertempuran itu”

Kedua lawannya tidak sabar lagi, keduanya pun segera berloncatan menyerang. Apa yang akan terjadi, biarlah segera terjadi.

Pertempuran pun kemudian menjadi semakin sengit. Kiai Margawasana telah menggenggam sebilah pisau belati panjang di kedua belah tangannya.

Dengan sepasang pisau belati panjang itu, Kiai Margawasana mampu mengakhiri pertempuran itu.

Dengan pisau belatinya, Kiai Margawasana berhasil menggetarkan tangan kedua lawannya. Dengan hentakan yang keras, maka senjata-senjata lawannya itu telah terlepas dari tangan mereka. Bahkan seorang lawan Kiai Margawasana itu telah menjadi pingsan ketika Kiai Margawasana memukul tengkuknya dengan tangkai pisau belatinya.

Pada saat yang hampir bersamaan, seorang lawan Wikan telah berteriak nyaring. Pedang Wikan telah menggores lambung seorang lawannya.

“Cukup” teriak Kiai Margawasana, “jika kalian masih tetap melawan, maka tentu ada diantara kalian yang akan mati. Kami bukan pembunuh-pembunuh yang haus darah. Karena itu, jika kalian mau menghentikan perlawanan, maka kalian akan aku maafkan, sehingga tidak seorang pun yang akan terbunuh di arena pertempuran ini. Mungkin ada diantara kawan kalian yang terluka, bahkan agak parah. Mungkin pula ada yang telah pingsan. Tetapi mereka tidak akan mati jika kalian yang masih mampu merawat mau merawat dengan baik”

Orang-orang yang telah mencegat Kiai Margawasana itu pun akhirnya harus melihat kenyataan tentang keadaan mereka. Mereka memang tidak berdaya menghadapi dua orang yang berilmu tinggi itu. Bahkan anak muda yang disebut anak Kiai Margawasana itu pun telah memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.

“Sekarang terserah kepada kalian” berkata Kiai Margawasana, “apakah kalian masih akan melawan? Jika kalian masih akan bertempur, maka sekali lagi aku peringatkan, salah seorang diantara kalian akan menjadi korban, atau bahkan kalian semuanya akan mati”

Orang-orang itu masih merasa ragu. Wikan yang justru bergeser surut pun berkata pula, “Kau dengar apa yang dikatakan oleh Kiai Margawasana? Nah, cepat ambil keputusan. Jika kalian tidak menyerah, maka aku akan memenggal kepala kalian. Kalianlah yang akan menjadi makanan burung bangkai di tengah-tengah jalan ini”

Pemimpin dari sekelompok orang itu pun kemudian berkata dengan nada rendah, “Kami mengaku kalah. Kami menyerah”

“Baik” berkata Kiai Margawasana, ”jika kalian sudah menyerah, maka aku tidak akan membunuh siapa pun juga. Tetapi aku tetap saja ingin tahu, kenapa kalian telah menghentikan kami disini. Siapakah yang telah memerintahkan kalian dan darimana kalian tahu, bahwa hari ini kami berdua akan pergi ke Mataram”

“Tidak ada yang memerintahkan kami melakukannya, Kiai. Kami pun secara kebetulan berjumpa dengan Kiai disini.

“Jangan menganggap kami sebagai kanak-kanak yang mudah sekali di kelabui. Sudahlah, berkatalah berterus-terang. Aku tidak akan membuka rahasia kalian terhadap siapa pun juga”

“Aku berkata sebenarnya, Kiai. Tidak ada orang yang mengupah aku untuk melakukan tugas ini”

“Jika semuanya ini kau lakukan atas kemauan kalian, sendiri, itu berarti bahwa kalian benar-benar berniat memusuhi kami. Karena itu, maka biarlah kami menyelesaikannya dengan tuntas pula”

“Maksud Kiai?”

“Kita akan bertempur terus. Kami akan membunuh kalian sampai orang yang terakhir”

“Tetapi…”

“Biarlah aku membenamkan kepalanya itu didalam air parit yang dangkal itu. Biarlah bukan saja air yang masuk ke dalam mulutnya, tetapi juga lumpur dan pasir” berkata Wikan.

Orang itu memandang Wikan dengan wajah yang tegang, sementara Wikan melangkah mendekatinya, “Kau mau mengatakannya atau tidak”

Orang itu mundur selangkah. Ia melihat kesungguhan memancar di mata anak muda itu. Karena itu, maka katanya, “Jangan anak muda. Jangan benamkan aku ke dalam air parit itu”

“Bukankah air parit itu nampak jernih? Kudaku juga minum air di parit itu”

“Tetapi aku bukan kuda”

“Jika kau bukan kuda, katakan. Kenapa kau mencegat perjalanan kami. Siapa pula yang telah mengupahmu untuk melakukan kerja ini” bentak Wikan.

Orang itu masih saja ragu-ragu. Tetapi ketika Wikan bergeser selangkah mendekatinya, sambil mengacukan pedangnya, maka orang itu pun berkata, “baiklah. Aku akan mengatakannya”

“Jika alasanmu masuk akal, aku masih tetap pada sikapku, aku akan dengan suka rela tidak meneruskan perjalananku ke Mataram” berkata Kiai Margawasana.

Orang itu memandangi Kiai Margawasana dan Wikan berganti-ganti. Kemudian dengan nada datar ia pun berkata, “Aku diupah oleh Ki Tumenggung Darmakitri. Aku diperintah-kannya untuk mencegah Kiai Margawasana menemui Ki Tumenggung Reksaniti”

“Darimana kau tahu bahwa hari ini aku akan lewat jalan ini Ki Sanak?”

“Salah seorang utusan Ki Tumenggung Reksaniti memanggil Kiai telah berkhianat. Orang itulah yang mengatakan kepada Ki Tumenggung Darmakitri, bahwa hari ini Kiai akan lewat, karena kesanggupan Kiai untuk ke rumah Ki Tumenggung Reksaniti hari ini”

“Kenapa Ki Tumenggung Darmakitri berkeberatan aku datang menemui Ki Tumenggung Reksaniti?”

“Telah terjadi persaingan diantara keduanya”

“Persaingan tentang apa?”

“Kedudukan. Keduanya menginginkan kedudukan yang sama, yang ditinggalkan oleh pejabatnya, keduanya telah berusaha untuk menyingkirkan saingannya dengan cara apa pun juga”

“Kau berkata sebenarnya?”

“Ya”

“Aku akan menemui Ki Tumenggung Reksaniti. Jika perlu aku akan berbicara pula dengan Ki Tumenggung Darmakitri. Jika kau berbohong, maka aku akan mencarimu sampai ketemu. Bahkan seandainya kau bersembunyi di ujung bumi”

“Aku tidak berbohong. Aku berkata sebenarnya. Kecuali jika Ki Tumenggung Darmakitri yang berbohong kepadaku”

“Baiklah. Sekarang aku akan meneruskan perjalanan. Kuda-kuda kami sudah cukup beristirahat. Kau sudah memperpanjang waktu istirahat kuda-kuda kami”

Orang itu termangu-mangu sejenak.

“Rawat kawan-kawanmu. Kali ini kami memaafkanmu”

Kiai Margawasana dan Wikan pun kemudian meninggalkan orang-orang yang sudah menjadi tidak berdaya itu. Mereka menuruni tebing sungai kecil yang landai itu. Kemudian menyeberanginya. Sejenak kemudian, maka kuda-kuda itu pun telah berlari menuju ke pintu gerbang Kota Raja. Mataram.

“Yu Wiyati juga berada di Mataram, guru” berkata Wikan kemudian.

“Kau tahu tempat tinggalnya?”

“Tidak guru”

“Ancar-ancarnya?”

“Aku lupa menanyakannya. Tetapi aku pernah mendengar Yu Wiyati menyebut-nyebut alun-alun pungkuran. Bibinya Yu Wandan tinggal di dekat alun-alun pungkuran, sedangkan Yu Wiyati tinggal bersama Yu Wandan”

“Dekat alun-alun pungkuran?” ulang Kiai Mar-gawasana.

“Ya, guru”

Kiai Margawasana mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lebih jauh.

Dalam pada itu, kuda-kuda mereka pun berlari melintas di bulak-bulak panjang. Sekali-sekali mereka memasuki jalan di dekat dan bahkan menusuk ke dalam padukuhan itu.

Setiap kali mereka melintas di dekat atau bahkan didalam padukuhan, maka mereka harus menarik kekang kuda mereka sehingga tidak berlari terlalu kencang. Di sore hari, anak-anak banyak yang bermain di sepanjang jalan.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang Kota Raja. Karena itu rasa-rasanya ingin segera memasuki Kota Raja yang ramai itu.

Beberapa saat kemudian, sebelum senja, mereka telah berada di depan pintu gerbang.

Sambil memperlambat lari kudanya, Kiai Margawasana berkata, “Kita akan segera berada di dalam kota”

“Ya, guru. Tetapi apakah guru sudah pernah pergi mengunjungi Ki Tumenggung Reksaniti”

“Sudah Wikan. Aku sudah pernah pergi ke rumahnya beberapa kali. Rumahnya tidak berada di tengah-tengah Kota Raja. Tetapi agak ke pinggir. Tidak terlalu jauh dari pintu gerbang”

Wikan mengangguk-angguk.

“Tetapi rasa-rasanya tinggal di pinggir justru terasa tenang seperti tempat tinggal Ki Tumenggung Reksaniti itu. Udara masih terasa segar. Sementara itu, kebersamaan diantara para tetangga masih terasa sekali. Mereka masih merasa satu dengan lingkungannya, sehingga mereka masih dapat memikul suka dan duka bersama-sama”

Wikan mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia pun bertanya, “Masih seperti di padukuhan, guru”

“Ya. Sifat-sifat seperti kehidupan di padukuhan masih tersisa”

“Ya, guru”

“Berbeda dengan kehidupan di tengah-tengah kota. Sifat kebersamaan itu sudah menjadi semakin kabur. Orang-orang yang hidup di tengah-tengah kota rasa-rasanya sudah berubah. Mereka sangat mementingkan diri sendiri” Namun Kiai Margawasana pun segera menyambung, “tetapi tentu saja tidak semua orang. Dimana pun di bagian bumi ini terdapat orang-orang yang baik dan orang-orang yang tidak baik. Orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan orang-orang yang masih merasa satu dengan lingkungannya”

Wikan mengangguk-angguk. Sementara itu kudanya telah menyusup di bawah gerbang kota.

Sejenak kemudian, Wikan dan gurunya telah berkuda di dalam Kota Raja Mereka tidak dapat melarikan kuda mereka seperti sedang berpacu. Tetapi mereka harus menahan agar kuda mereka tidak berlari terlalu kencang.

Meskipun demikian, sekali-sekali nampak anak-anak muda melarikan kudanya seperti di kejar hantu tanpa menghiraukan kemungkinan buruk yang dapat terjadi dengan orang-orang yang berjalan kaki. Jika kuda yang berlari kencang itu menyentuh seseorang yang sedang berjalan kaki, maka akibatnya sangat buruk bagi pejalan kaki itu.

“Kenapa mereka sangat tergesa-gesa guru?” bertanya Wikan.

“Mereka bukannya tergesa-gesa” jawab gurunya, “tetapi mereka adalah anak-anak muda yang tidak tahu tatanan. Mereka justru anak orang-orang besar yang karena kesibukannya tidak sempat membimbing anaknya. Anak-anak muda yang demikian, biasanya di hari tuanya juga tidak akan dapat hidup dalam lingkungan yang merasa satu penanggungan. Jika mereka berada didalam satu lingkungan, maka mereka tentu akan menghitung-hitung bahwa lingkungan itu akan dapat memberikan keuntungan kepadanya. Jika mereka berbuat baik, maka mereka tentu mempunyai pamrih. Mungkin pamrih kewadagan, tetapi mungkin juga untuk mendapat pujian agar keberadaannya disatu kedudukan akan menjadi semakin kokoh”

Wikan pun mengangguk-angguk.

Namun gurunya pun berkata pula, “Tetapi seperti juga para penghuni di tengah-tengah kota ini. Ada anak muda yang buruk. Tetapi tentu ada pula yang baik. Anak-anak orang besar pun ada pula yang mengerti arti dari kebersamaan dengan lingkungan-nya”

Wikan masih saja mengangguk-angguk. Ternyata nafas kehidupan di Kota Raja itu jauh lebih beraneka daripada kehidupan di padukuhannya.

Sejenak kemudian, keduanya telah berbelok di sebuah simpang empat memasuki jalur jalan yang lewat di sebuah lingkungan hunian yang padat. Halaman-halaman rumah tidak lagi seluas halaman rumah di padesan. Namun rumah-rumah yang tidak terlalu besar, yang berada di halaman yang juga tidak begitu luas itu nampak bersih dan tertata rapi.

Beberapa saat kemudian, ketika bayangan senja mulai mengaburkan wama langit, keduanya telah sampai ke rumah yang mereka tuju. Rumah Ki Tumenggung Reksaniti nampak lebih besar dari rumah-rumah disekitamya. halamannya pun nampak lebih luas bersih dan asri. Beberapa kelompok pohon bunga tumbuh di pinggir halaman. Sekelompok kembang Soka. Rumpun bunga mawar merah dan putih. Disudut lain nampak segerumbul kembang melati yang sedang berbunga lebat sekali.

Keduanya pun kemudian turun di depan regol halaman rumah Ki Tumenggung. Mereka kemudian menuntun kuda mereka memasuki halaman. Di pendapa lampu minyak sudah menyala dengan terangnya.

“Dimana kita akan mengetuk pintu, guru. Pintu pringgitan atau pintu seketeng?”

“Kita akan mengetuk pintu seketeng saja. Wikan”

Wikan mengangguk.

Setelah menambatkan kuda mereka, di patok-patok yang tersedia di sebelah gandok, maka mereka pun segera pergi ke pintu seketeng.

Tetapi sebelum mereka mengetuk pintu, pintu seketeng itu sudah dibuka dari dalam, sehingga keduanya justru bergeser mundur selangkah.

 -oo0dw0oo-

Karya : SH Mintardja

Sumber DJVU http ://gagakseta.wordpress.com/

Convert by : DewiKZ

Editor : Dino

Final Edit & Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/

http://ebook-dewikz.com/ http://kang-zusi.info

edit ulang untuk blog ini oleh Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar